Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

12 Januari 2017

Presiden Darurat Sjafruddin Prawiranegara
(19 Desember 1948-13 Juli 1949)
Oleh: Lukman Hakiem

PADA 18 Desember 1948, pukul 23.30, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Keesokan harinya, 19 Desember 1948, pukul 06.00 ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diserang dan diduduki oleh tentara Belanda. Tiga hari kemudian, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Prapat di Sumatera Utara, dan ke Muntok di Pulau Bangka.
Dalam sidang kabinet beberapa saat sesudah Yogyakarta diduduki, Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk “Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, diperintahkan agar jika usaha Sjafruddin membentuk pemerintahan darurat tidak berhasil; ketiganya diberi kuasa untuk membentuk “Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengasingan.”     
Presiden Darurat
Mendengar ibukota Yogya diduduki, Sjafruddin yang sedang berada di Bukittinggi, segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan pada hari itu juga memproklamirkan berdirinya Pemerintah Darurrat Republik Indonesia (PDRI). “Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi, pada tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 sore, telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia,” ujar Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera, M. Teuku Mohammad Hasan.
Pada 22 Desember 1948. Di Halaban, Payakumbuh, Sjafruddin mengumumkan susunan kabinet PDRI yang terdiri dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua), Mr. T.M. Hasan (Wakil Ketua), Mr. Sutan Moh. Rasjid (Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda), Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan/Kehakiman), Ir. M. Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan), Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran), dan R.M. Danusubroto sebagai Sekretaris.  
Di Pulau Jawa dibentuk Komisaris PDRI di bawah pimpinan dr. Soekiman Wirjosandjojo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, I.J. Kasimo, K.H. Masjkur, Supeno, dan Pandji Suroso.
PDRI juga menata ulang kepemimpinan militer. Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Kolonel A.H. Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara Teritorium Jawa. Kolonel M. Hidajat ditetapkan menjadi Panglima Tentara Teritorium Sumatera. Kolonel (Laut) M. Nazir diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kolonel (Udara) M. Sudjono diangkat menjadi Panglima Angkatan Udara.
Sjafruddin sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Dia menggunakan sebutan Ketua Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.”
Dalam memoar/otobiografi yang terbit pertama kali di akhir 1970-an dan diterbitkan kembali pada 2010, Proklamator Kemerdekaan, Mohammad Hatta, menyebut Sjafruddin Prawiranegara sebagai “Presiden Darurat”.
Setelah berpuluh tahun eksistensi PDRI bagai hilang dari catatan sejarah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal pembentukan PDRI, 19 Desember, sebagai Hari Bela Negara. Sayang, baru Bung Hatta yang secara terbuka  mengakui eksistensi Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Republik Indonesia, walaupun diberi tambahan “Darurat”..
Pernyataan Roem-van Roijen
Dalam perjuangan melawan Belanda, PDRI antara lain menggunakan siaran radio. Pesan-pesan radio PDRI ternyata dapat diterima dengan baik di New Delhi, dan mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Konferensi Inter-Asia mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983). Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Pernyataan itu telah menempatkan Roem --tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah--  dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti       
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh Belanda. PDRI merasa ditinggalkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sungguh sangat penting. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Sesudah usaha Hatta mencari Sjafruddin di Kutaraja, Aceh, gagal; Presiden Sukarno mengutus delegasi terdiri dari Mohammad Natsir, dr. J. Leimena, dr. Abdul Halim, dan Agus Yaman untuk membujuk PDRI dan Sjafruddin agar mengakui Roem-van Roijen dan kembali ke Yogya.
Dalam pertemuan di Padang Jopang, Lima Puluh Kota, sikap PDRI keras: “Mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan dengan Belanda, padahal yang berkuasa sesungguhnya PDRI.” Leimeina dan Halim, mulai kehilangan kesabaran. Mereka berkata: “Dulu, sewaktu Sukarno dan Hatta ditawan, kami tidak tahu bagaimana nasib Republik apabila tidak ada PDRI. Sekarangpun kami tidak tahu bagaimana nasib Republik kalau Bung Sjafruddin tidak bersedia kembali ke Yogya.”
Di tengah pembicaraan yang emosional itu, menjelang subuh, tiba-tiba Natsir membacakan sebuah syair berbahasa Arab: “Tidaklah keinginan semua manusia akan tercapai, karena angin berhembus di lautpun tidak selamanya mengikuti keinginan perahu yang sedang berlayar.”
Entah terpengaruh oleh syair klasik itu, Sjafruddin menyahut: “Dalam perjuangan, kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan, karena kita berundingpun duduk di atas lantai. Yang penting adalah kejujuran. Siapa yang jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat.” Sjafruddin memutuskan kembali ke Yogya untuk mengembalikan mandat --yang tidak pernah dia terima—kepada Presiden Sukarno. Di lapangan terbang Yogya, Presiden Darurat itu dijemput oleh Mohammad Hatta.   
Sesudah mendengar Sjafruddin kembali ke Yogya, Soedirman bersedia turun gunung, kembali ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Mengutip pakar sejarah, Prof. Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Peran Signifikan Politisi Muslim
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan yang dramatis, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat signifikan.         
Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa sesungguhnya sejak dulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat sembari dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka, mereka yang tiba-tiba amat bersemangat bicara soal NKRI, dan kebhinekaan seraya memperhadapkannya dengan Islam; bacalah sejarah dengan jujur dan benar.[]
Tulisan ini dimuat koran Republika, Rabu, 17 Desember 2016.
Lukman Hakiem, pemerhati sejarah. Menulis dan menyunting beberapa buku. Pernah menjadi anggota DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-20014).
















1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Pak

Maaf mengganggu, saya Muhammad Faizurrahman dari mahasiswa Ilmu Sejarah UNS, ingin bertemu dengan bapak untuk wawancara judul tugas Mata kuliah Metode Sejarah yaitu Pemikiran Syafrudin prawiranegara
Bagaimana Pak ? Maaf sebelumnya
Terimakasih​