Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

05 Desember 2016

Jejak Politisi Muslim dalam Proses Pembentukan NKRI

Jejak Politisi Muslim dalam Proses Pembentukan NKRI[1]
Oleh: Lukman Hakiem

Babak Baru Kehidupan Umat Islam
            Setelah lama berada dalam cengkeraman penjajah Barat, di penghujung abad XIX dan awal abad XX muncul kesadaran emansipatoris di kalangan bangsa terjajah ini. Kesadaran secara  tersendiri atau bersama-sama yang ditandai oleh: pertama, cita-cita suatu pengelompokan orang-orang tertentu menuju penjabaran diri dan perkembangan batin; kedua, berusaha agar diakui sebagai bagian masyarakat sepenuhnya dan dengan demikian memiliki peluang dan hak yang sama seperti golongan istimewa dalam masyarakat; dan ketiga mengusahakan pemutusan hubungan dengan golongan yang berkuasa. Nasionalisme biasanya merujuk kepada pertanda ketiga.[2]
            Bersamaan dengan munculnya kesadaran emansipatoris itu, masuk dan berkembang pula gagasan pembaruan Islam di Indonesia. Menurut Korver[3] gagasan pembaruan Islam masuk melalui tiga cara. Pertama, melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia.
Sekitar tahun 1900, jumlah masyarakat Arab di Indonesia kurang lebih delapan belas ribu orang. Melalui perkawinannya dengan wanita Indonesia, juga lantaran ikatan keagamaan, hubungan orang Arab dengan kaum pribumi Indonesia terjalin sangat baik. Bahkan nyaris tanpa sekat. Meskipun demikian, orang-orang Arab pada awal abad XX itu tetap tidak dapat melepaskan ikatan batin mereka dengan tanah leluhur di Timur Tengah. Melalui ikatan batin yang sangat manusiawi itulah pelbagai suratkabar dan majalah dari Timur Tengah masuk ke Indonesia. Masyarakat Arab di Indonesia juga mendirikan lembaga pendidikan Jamiat Khair di Jakarta pada 1905 yang pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan sistematis. Jamiat Khair terbuka untuk seluruh kaum Muslim, termasuk Muslim pribumi.    
Di kalangan pribumi, reformisme Islam pertama-tama mendapat pengikutnya di Minangkabau, Sumatera Barat. Inilah cara kedua reformisme  Islam masuk ke Indonesia. Salah seorang tokoh reformisme Islam di Minangkabau ialah Syaikh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari yang menghabiskan sebagian besar usianya di Singapura dan Timur Tengah. Melalui persahabatannya dengan hartawan berkebangsaan Arab, Taher menerbitkan majalah Al-Imam. Majalah yang terbit pada 1905-1910 ini mendesak umat Islam agar tidak kalah dalam bersaing dengan orang-orang Barat.[4]
Ketiga, cita-cita reformasi Islam masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh Sarekat Islam (SI)[5] dan Persyarikatan Muhammadiyah.[6] Jika SI memilih perjuangan di jalan politik, maka Muhammadiyah membatasi lapangan  perkhidmatannya di bidang-bidang dakwah, sosial, dan pendidikan.
Aktivitas kedua organisasi itu ternyata saling melengkapi satu sama lain. Ketika Muhammadiyah dengan kiprahnya di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan telah berhasil menumbuhkan kesadaran intelektual di kalangan kaum Muslim; maka SI yang berkiprah di bidang politik, mengembangkan dan menyalurkan kesadaran yang telah ditumbuhkan oleh Muhammadiyah itu. Berkat pembinaan “Dwitunggal SI-Muhammadiyah”[7], tumbuhlah rasa persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan Budi Utomo yang cakupan geraknya terbatas hanya di Jawa dan Madura dan programnya pun terbatas untuk kepentingan penduduk Jawa dan Madura,[8] SI justru mengikat dan mempersatukan penduduk dari kepulauan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Seorang H. Agus Salim (1884-1954) yang berasal dari Minangkabau, tidak pernah melihat dan memperlakukan H.Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) yang orang Jawa, sebagai orang Jawa. Begitu pun sebaliknya. Asal-usul keturunan, tanah kelahiran, dan bahasa mereka memang berbeda; akan tetapi rasa persatuan dan persaudaraan mereka, satu. Mereka sama-sama merasa terikat oleh aqidah yang sama, yakni aqidah Islam.
Bila dibandingkan dengan keanggotaan Budi Utomo yang membatasi pada golongan priyayi, sejarawan Bonnie Triyana mencatat, SI jauh lebih menimbulkan minat rakyat untuk bergabung. Di bawah kendali Tjokroaminoto, mulai tahun 1916 kongres-kongres SI disebut “kongres nasional”. Penamaan itu bukan hanya menunjukkan semakin banyaknya cabang SI di berbagai daerah di Hindia Belanda, tapi juga pertanda menguatnya kesadaran nasional di kalangan pemimpin SI dengan keanggotaan SI dipersatukan oleh Islam, tiada peduli status, pangkat, dan usia.[9] 
Demikianlah sumbangan besar yang diberikan oleh Dwitunggal SI-Muhammadiyah dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia, jauh sebelum lahir partai-partai seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dapat dikatakan, inilah babak baru dalam kehidupan umat Islam, sekaligus dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Kuntowidjojo (1943-2005) menyebut hal ini sebagai gejala baru mulai berhasilnya anak-anak kaum ulama memasuki sekolah-sekolah Belanda yang dibuka sebagai pelaksanaan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad XX. Dari sinilah selanjutnya lahir kelompok baru di kalangan kaum Muslim, yaitu kelompok intelektual Muslim. Menurut pakar sejarah yang juga menulis karya sastra itu, kelahiran mereka memberi corak baru dalam gerakan melawan kolonial. Kaum ulama mulai menyadari pentingnya organisasi. Maka lahirlah pada periode ini Sarekat Dagang Islam (SDI) --yang kemudian menjadi SI-- yang tidak saja didukung oleh kelompok ulama tradisional, tetapi juga oleh para ambtenar Belanda, pedagang kecil dan menengah, kaum aristokrat, dan kaum buruh.[10]
Sesudah Sarekat Islam dan Muhammadiyah, berturut-turut berdiri Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914) di Jakarta, Perikatan Umat Islam (1917) di Majalengka, Persatuan Islam (1923) di Bandung, Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya, Al Ittihadiyatul Islamiyah (1931) di Sukabumi[11], dan lain-lain. 
Reformasi Pendidikan
Semua organisasi Islam itu sama bercita-cita meningkatkan kualitas kaum Muslim di Tanah Air. Dalam muktamar organisasi-organisasi itu berkumandang perlunya umat Islam di Indonesia memperbaiki kualitas lembaga pendidikannya, juga perlunya kaum Muslim memiliki lembaga pendidikan yang memberikan secara seimbang ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan, dan keterampilan.
Pada 1917, pendiri Perikatan Umat Islam, K.H, Abdul Halim (1887-1962) mendirikan lembaga pendidikan yang berlokasi di atas gunung dan di tengah hutan belantara. Lembaga pendidikan itu diberi nama Santi Ashrama. Mengapa di tempat sunyi? Menurut Kiai Halim, tempat yang tenang di luar kota merupakan tempat yang ideal. Kota, katanya, telah diracuni atau sering diracuni dengan kebiasaan-kebiasaan yang immoral ataupun amoral. Sedangkan tempat-tempat di luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.[12]
Kiai Halim melengkapi para peserta didiknya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing. Kiai Halim sampai pada langkah itu setelah melihat, lulusan sekolah pemerintah menggantungkan diri pada lapangan pekerjaan yang disediakan di lingkungan pemerintah, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan lulusan madrasah atau pesantren biasanya menjadi guru agama atau kembali ke lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu Kiai Halim berpendapat, seorang lulusan yang baik adalah seorang yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan.[13]
Dalam muktamar seperempat abad Muhammadiyah di Jakarta pada 1936, organisasi ini memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah memiliki 31 perpustakaan umum, dan 1.774 sekolah.[14]
Gagasan meningkatkan kualitas umat Islam melalui reformasi pendidikan, juga masuk ke pondok pesantren. Dalam kaitan ini penting untuk dicatat keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak di desa Cukir, kurang lebih 8 kilometer sebelah tenggara kota Jombang, Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh Hadratus Syaikh K.H. Muhammad Hasjim Asj’ari (1871-1947) pada tahun 1899 dan diakui resmi oleh pemerintah Belanda pada 6 Februari 1906.[15]    
Salah seorang putra Hadratus Syaikh yakni K.H.A. Wahid Hasjim (1914-1953), meskipun sejak dini telah digembleng oleh ayahandanya dengan pendidikan Islam, tetapi sang putra pun diperbolehkan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam usia belia, Wahid Hasjim telah berlangganan Penjebar Semangat, Daulat Ra’jat, Pandji Poestaka, Ummul Quro, Shautul Hijaz al Lata’if al Musyawarah, Kullu Syain wal Dun-ya, dan Al Itsnain. Majalah-majalah berbahasa Indonesia yang dilanggananinya diterbitkan oleh kelompok nasionalis; sedangkan majalah-majalah berbahasa Arab semuanya berasal dari Timur Tengah. Dari contoh bacaan di atas terlihat betapa sejak masa mudanya, Wahid Hasjim sudah membuka cakrawala pandangnya sedemikian luas.[16]
Pada 1934, Wahid Hasjim melaksanakan gagasan pembaruannya dengan membuka Madrasah Nidhomiyah di Pondok Pesantren Tebuireng. 70% dari keseluruhan mata pelajaran di Madrasah Nidhomiyah merupakan pengetahuan umum. Di Tebuireng itu pula Wahid Hasjim membuka perpustakaan yang selain berisi 1000 judul buku (kebanyakan buku-buku tentang agama Islam), juga berisi majalah dan suratkabar Pandji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatoel Oelama, Adil, Noeroel Islam, Al-Munawarah, Pandji Poestaka, Poestaka Timoer, Poedjangga Baroe, dan Penjebar Semangat.[17]
Perhimpoenan Indonesia
Ketika kesadaran politik umat sudah makin meluas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa, pada 1925 para mahasiswa kita di Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia). Peristiwa ini jelas bukan sekadar pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih tegas dari perjuangan organisasi itu, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah, inilah untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi dilekatkan pada nama suatu organisasi.
Selain mengubah nama organisasi, para mahasiswa itu mengeluarkan Manifesto Politik yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Nama majalah organisasi pun diganti dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka dan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!” diperkenalkan, meskipun masih dalam bahasa Belanda.
Dalam catatan pakar sejarah, Taufik Abdullah, peristiwa sederhana ini sekaligus mengatakan tiga hal yang fundamental: pertama, adanya sebuah bangsa bernama Indonesia, kedua, adanya sebuah negeri bernama Indonesia, dan ketiga, bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya. Begitulah kalau sejarah pergerakan kebangsaan dikaji lebih teliti, maka kelihatanlah bahwa mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.[18]
Kebetulan atau tidak, ketika Indische Vereeniging berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, ketua organisasi tersebut adalah Soekiman Wirjosandjojo yang sekembalinya di tanah air dikenal sebagai salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ketua Partai Islam Indonesia (PII), anggota Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai), Ketua Umum pertama partai politik Islam legendaris, Masjumi, dan Perdana Menteri Republik Indonesia (1951-1952). Sampai Masjumi membubarkan diri pada 1960, Soekiman adalahWakil Ketua Umum Masjumi.
Sesudah peristiwa heroik pada 1925 itu, pada 1926 dalam kongresnya yang pertama nama Indonesia dilekatkan pada nama organisasi Indonesia Moeda. Nama Indonesia dikuatkan lagi dua tahun kemudian pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan yang dengan tegas diberi nama Nationale Indonesische Padvindery (Natipy). Bukan Nationale Islamitische Padvindery seperti ditulis di beberapa buku sejarah.
Menjadi Indonesia
Dalam kaitan ini, ada peristiwa yang cenderung dilupakan, yakni Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di Semarang, 4 Oktober 1934, berbunyi sebagai berikut:
1.    Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana);
2.    Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi);
3.    Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Dari prespektif hari ini, barangkali terasa aneh ada sumpah pemuda tetapi memakai embel-embel keturunan Arab. Akan tetapi, dari prespektif dekade-dekade awal abad XX, ketika di antara orang-orang Arab yang lahir di Hadramaut (wullaiti) dan orang-orang Arab keturunan Hadramaut yang lahir dan beribu Indonesia (muwallad), atau antara kaum sayyid dan bukan sayyid, antara kelompok al-Rabithah dan al-Irsyad, tidak pernah bisa bertemu, hidup ekslusif, dan tidak merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lahirnya SPIKA bukan saja terasa relevan, tetapi bahkan merupakan keniscayaan dalam proses pergerakan kebangsaan. Berdasarkan SPIKA itulah didirikan Partai Arab Indonesia (PAI).
Sumpah pemuda Indonesia keturunan Arab dan lahirnya PAI segera menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap waspada. Bagaimanapun, menurut strata hukum yang berlaku pada masa itu, orang Arab dikategorikan sebagai orang Timur Asing, dan karena itu derajatnya setingkat di bawah orang Belanda dan Eropa serta setingkat di atas orang pribumi yang secara merendahkan, oleh Belanda disebut inlander. Dengan SPIKA dan PAI,warga keturunan Arab telah memilih tempatnya di antara rakyat Indonesia asli.
Pilihan untuk menjadi Indonesia menunjukkan aktivis SPIKA dan PAI adalah kelompok radikal, progresif-revolusioner, dan siap menghadapi segala resiko. Jika sikap itu menular kepada yang lain, bisa diduga apa yang akan terjadi di ranah pergerakan kebangsaan. Inilahn yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mewaspadai SPIKA dan PAI.
Kaum pergerakan nasional yang merasa mendapat kawan, bersukacita dengan dicetuskannya SPIKA dan lahirnya PAI. Di tengah sikap keras pemerintah kolonial Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan para aktivis politik serta membubarkan partai politik berhaluan radikal, SPIKA dan PAI merupakan darah segar bagi pergerakan nasional.
Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan nasional di seluruh Tanah Air, memberitakan dan mempropagandakan kelahiran SPIKA dan PAI sebagai gerakan yang sangat progresif. Tidak heran jika para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI, sehingga dalam waktu singkat PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) karena PAI yang berasas Islam pada Pasal II Anggaran Dasarnya, merumuskan:
a.    bahwa Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah Tanah Airnya, yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban;
b.    bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya wajib diutamakan.
Pada Pasal III, PAI merumuskan tujuan dan usahanya sebagai berikut:
1.    Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada Tanah Air dan masyarakatnya.
2.    Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial, yang menuju keselamatan rakyat dan Tanah Air Indonesia.
PAI juga diterima menjadi anggota Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI yang nasionalistis itu berasaskan Islam. Tidak banyak partai yang diterima sekaligus sebagai anggota GAPPI dan MIAI. Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Inilah pengakuan bahwa warga keturunan Arab di Indonesia diterima dan diakui secara utuh sebagai putera Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, seluruh partai politik, termasuk PAI dibubarkan. Dan ketika Indonesia merdeka, PAI tidak didirikan lagi. Jika di masa penjajahan, warga keturunan Arab merasa perlu menegaskan jati diri keindonesiaannya, di alam kemerdekaan pimpinan dan para anggota PAI menolak politik “kegolongan yang berdasarkan minoritas.” Oleh sikap demikiran inilah, PAI tidak dihidupkan lagi.
Konsisten pada sikap tersebut, sejak awal kemerdekaan bekas pimpinan dan anggota PAI masuk ke dalam berbagai badan perjuangan dan partai politik menurut alirannya masing-masing. Bekas aktikvis PAI Mr. Hamid Algadri menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), kelak berkiprah di Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan bekas Ketua PAI, AR. Baswedan, menjadi Menteri Muda Penerangan yang kelak menjadi anggota Delegasi Diplomatik Republik Indonesia ke Timur Tengah untuk mencari dukungan internasional bagi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Baswedan berkiprah di Partai Masyumi.
Wajib Hukumnya Melawan Belanda
Di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, persatuan umat Islam sebagai penduduk mayoritas kembali ditunjukkan. Tanpa keraguan sedikitpun, para ulama mengeluarkan fatwa bahwa berjuang melawan Belanda, wajib hukumnya. Gugur dalam perjuangan membela agama dan negara, difatwakan sebagai mati syahid. Tidak kurang dari lima fatwa tentang hukum wajib melawan Belanda dikeluarkan oleh para ulama dan pemimpin Islam. Hal itu menunjukkan, para pemimpin Islam satu kata dalam sikap menghadapi Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. 
1.      Pada Konferensi Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura di Surabaya (21-22 Oktober 1945), K.H.M. Hasjim Asj’ari memfatwakan wajib hukumnya melawan Belanda.
2.      Pada 29 Oktober 1945, Pimpinan Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa bahwa mati dalam memperjuangkan agama dan negara adalah mati syahid.
3.      Bulan November 1945, tiga puluh ulama di daerah Yogyakarta mengeluarkan fatwa bahwa adalah merupakan fardhu ‘ain (kewajiban perseorangan) untuk memerangi orang-orang kafir yang menghambat usaha kemerdekaan.
4.      Pada 5-9 Desember 1945, Kongres Ummat Islam se-Sumatera di Bukittinggi mengeluarkan fatwa wajib hukumnya melawan Belanda.
5.      Pada Kongres Masyumi di Kediri, 10 Februari 1946, K.H. A. Wahab Chasbullah menyampaikan fatwa Ketua Majelis Syuro Masyumi, K.H.M. Hasjim Asj’ari bahwa melawan Belanda hukumnya wajib.[19]
Dalam pada itu, Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta selain bersepakat membentuk Partai Politik Islam Masyumi, mengukuhkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam lapangan politik; Hizbullah sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam lapangan militer; juga sepakat membentuk badan perjuangan dengan nama Sabilillah yang dikukuhkan sebagai satu-satunya lapangan gerakan umat Islam dalam militer dan perlawanan. Anggota Sabilillah adalah para ulama yang berusia 35 tahun ke atas.
Untuk memperkuat barisan perjuangan umat Islam, pada 26 Oktober 1946, dalam sebuah Maklumat Bersama yang ditandangani oleh K.H. Masjkur (Panglima Markas Tertinggi Sabilillah), Zainul Arifin (Panglima Markas Tertinggi Hizbullah), dan R.H. Benjamin (Ketua Umum Pucuk Pimpinan GPII); dibentuklah Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia. Para penandatangan Maklumat Bersama menjadi Ketua Dewan Mobilisasi dibantu oleh Anwar Harjono sebagai Sekretaris Umum. Dewan Mobilisasi bermarkas di Malang, Jawa Timur.
Sukarno-Hatta-Kasman: Pemimpin di Masa Krisis
Perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita memang tidak pernah sepi dari peranan tokoh-tokoh pejuang Muslim. Mereka, dalam istilah Jenderal TNI (Purn) Dr. A.H. Nasution, adalah para pemimpin di masa-masa kritis. “Dapat saja kemudian posisi berubah, bahkan menurun, namun perlu kita sadari, bahwa untuk tampil jadi pemimpin pada saat-saat genting, pada saat berbahaya itu, pada saat masih banyak tokoh yang ragu-ragu dan yang masih banyak pula yang belum dapat atau belum mau menampilkan diri, pastilah diperlukan kepemimpinan yang bersifat pelopor,” kata Pak Nas, dalam tulisan menyambut 75 tahun Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982).
Menurut Pak Nas, ketampilan ikut memimpin negara atau tentara pada saat yang amat kritik itu, tidak akan datang dari “pemimpin-pemimpin rutin”. Tugas pemimpin di masa-masa kritik adalah pasti jauh lebih berbahaya dan adalah bersifat lebih menentukan bagi nasib bangsa, dibanding dengan seperti misalnya masa tahun-tahun Orde Baru, di mana negara dan tentara telah tegak terkonsolidasi. Dalam rangka ini Pak Nas mencatat, di masa sekitar Proklamasi Kemerdekaan, “lazim kami di kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, di mana Pak Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan ketika itu....”
Memang, peran Kasman di tahap-tahap awal konsolidasi militer kita, sangat besar, atau sekurang-kurangnya tidak layak dilupakan. Kasman berturut-turut pernah menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta. Dalam posisi inilah Kasman dicatat oleh Jenderal Nasution sebagai salah satu dari tokoh nasional yang amat berpengaruh. “Hanya dengan pimpinan Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo, rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja.”
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Kasman sempat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menjadi Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia, dan sesudah reorganisasi Tentara Republik Indonesia (TRI), Pak Kasman dilantik menjadi Kepala Kehakiman Militer.
Nama Kasman dicatat sejarah, karena pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 dialah yang berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) untuk menerima saran Mohammad Hatta (1902-1980) menghapus anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”, dan menukarnya dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sila pertama dari Pancasila, dasar negara kita.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Seorang sarjana Perancis, Remy Madinier, dalam studinya mengenai Partai Masyumi,[20] mencatat bahwa pada episode terakhir perjuangan kemerdekaan yang begitu dramatis, di tubuh Masyumi mencuat sosok kenegarawanan dari tiga tokoh pemimpinnya serta menempatkan mereka di jajaran terdepan sebagai calon-calon pemimpin pemerintahan. Ketiganya ialah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh Masyumi itu telah memainkan peranan yang sangat penting dan signifikan.  
Sejarah negara ini mungkin akan lain jalannya jika tidak muncul inisiatif Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera segera sesudah Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948.
Mendengar peristiwa Agresi Militer II Belanda itu, Sjafruddin yang sedang berada di Sumatera segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan memproklamirkan berdirinya PDRI, terhitung sejak 22 Desember 1948. Sjafruddin yang dipilih menjadi Ketua PDRI, sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati....”
Sejarah mencatat betapa efektifnya kekuasaan PDRI. Itu dapat dibuktikan oleh tiga hal. Pertama, dipatuhinya segala perintah PDRI oleh para pemimpin di Jawa –termasuk oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kedua, betapa keras usaha Belanda menghantam PDRI, sampai-sampai Belanda melansir ejekan bahwa PDRI tidak lain dari Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Ketiga, pesan-pesan yang  disampaikan oleh radio PDRI dapat diterima dengan baik di luar negeri, termasuk di New Delhi, dan mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Perjalanan bangsa Indonesia juga mungkin akan lain jadinya jika  Sjafruddin selaku Ketua PDRI tidak bersedia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Bung Karno dan Bung Hatta, sesudah Sukarno-Hatta “meninggalkan” PDRI dalam perundingan yang melahirkan Persetujuan Roem-van Roijen, 7 Mei 1949. Tentang hal ini, baik kita simak penilaian Sjafruddin terhadap Mr. Mohamad Roem sebagai berikut:
“Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Sukarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI pada waktu itu adalah satu-satunya pemerintah yang sah. Tetapi saya yakin, bahwa Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk kepentingan nusa dan bangsa, dan sedikit pun tidak ada niat padanya untuk meninggalkan PDRI. PDRI pada waktu itu memang sulit dihubungi, sebab masih ada di tempat persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau memang sungguh-sungguh diusahakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di Sumatera, dan Jawa, serta luar negeri. Tetapi karena saya yakin tentang integritas dari Roem dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem dengan van Roijen, kami tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan inilah yang akhirnya membawa kemenangan!”[21]
Pernyataan Roem-van Roijen
Konferensi Inter-Asia di India mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Belanda yang semakin terjepit posisinya, masih berusaha mengelak dari kewajiban memenuhi Resolusi DK-PBB. Wakil Tertinggi Ratu Belanda di Indonesia, Dr. Beel, mengusulkan agar para pemimpin RI yang sudah kumpul sebagai tawanan di Bangka terbang ke Den Haag guna menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB). Usul Beel itu ditolak. Para pemimpin RI menuntut supaya sebelum dilaksanakan KMB, kedudukan pemerintah RI lebih dulu dipulihkan. Sikap para pemimpin RI didukung oleh para pemimpin yang tidak ditawan oleh Belanda seperti Dr. Darmasetiawan, Dr. Halim, dan M. Natsir.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, akhirnya pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983).
Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta, dan itu berarti pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Bagi Roem, Pernyataan itu telah menempatkan tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, itu dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti       
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh Belanda. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, merasa ditinggalkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sangat krusial. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali”adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Akan tetapi, Sjafruddin dan Soedirman ternyata kembali juga ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Dengan sekali lagi mengutip Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”[22] Kalimat seperti itu, hanya mungkin diucapkan oleh seorang yang berjiwa negarawan.
Mosi Integral Natsir
Pada 29 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui (Belanda menggunakan istilah menyerahkan) kedaulatan RIS, kecuali Irian Barat. Dalam RIS tergabunglah 16 negara bagian, termasuk negara bagian Republik Indonesia di Yogyakarta. Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering, pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur mengeluarkan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung dengan Negara Bagian RI di Yogyakarta. Pada 30 Januari 1950, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan  mengeluarkan resolusi yang sama. Resolusi serupa juga datang dari DPRD Sulawesi Selatan, dan DPRD Jakarta. Selain di empat daerah tersebut, suara-suara yang menghendaki bergabung dengan RI, terdengar di banyak tempat. Di Negara Bagian Sumatera Timur malah terjadi demonstrasi besar yang menyebabkan polisi harus turun tangan.
Resolusi dan demonstrasi itu, biarpun baik niatnya, dalam pandangan Mohammad Natsir (1908-1993), dapat menyebabkan tergerogotinya eksistensi Indonesia. Natsir berpendapat, diperlukan suasana tenang dan penyelesaian menyeluruh (integral) untuk keluar dari kemelut yang dapat meledakkan sesuatu yang tidak terduga itu.
Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS, Natsir membicarakan masalah itu dengan ketua fraksi paling kiri, Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI); dan dengan ketua fraksi paling kanan, Sahetapy Engel dari Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO = Majelis Permusyawaratan Federal). 
Situasi waktu itu memang cukup panas. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta, dan menjadi kebanggaan 70 juta rakyatnya, sejak lahirnya RIS telah merosot derajatnya menjadi negara bagian dengan penduduk sekitar 3 juta di Yogyakarta, dan statusnya pun sama dengan negara-negara bagian lainnya.
 Setelah beberapa bulan berkeliling Indonesia untuk menemui tokoh-tokoh dan para pemimpin negara bagian, serta dari hasil diskusinya, termasuk dengan Sakirman dan Engel, Natsir menyimpulkan dua hal:
1.    Para kepala negara-negara bagian dan tokoh-tokohnya tidak dapat menerima pembubaran negaranya, untuk alasan apapun. Mereka berpendapat, mereka mempunyai status yang sama dengan RI di Yogya, sebagai negara bagian yang menurut Konstitusi RIS adalah negara federal, dan
2.    Perundingan tersulit terjadi di Yogyakarta. Di sana masih banyak yang berkeinginan kembali ke negara kesatuan sesuai dengan Proklamasi. Orang-orang RI di Yogya yang merasa sebagai perintis dan modal perjuangan, merasa heran jika mereka harus membubarkan diri bersama-sama dengan BFO ciptaan van Mook.
Kepada tokoh-tokoh RI di Yogyakarta, Natsir mengajukan dua pilihan: pertama, memerangi negara-negara bagian itu sampai mereka menyerah dan bersedia membentuk negara kesatuan; kedua, meminta negara-negara bagian itu untuk bersama kita sendiri membubarkan diri dan mendirikan kembali negara kesatuan.
Setelah berdiskusi dan menyerap aspirasi yang berkembang, Natsir mengajukan Mosi Integral, yang populer dengan nama Mosi Integral Natsir. Ketika berbicara di Parlemen RIS, 3 April 1950,  Natsir tidak merasa perlu bicara soal federalisme atau unitarisme. Bagi  Natsir, mereka yang menyokong Mosi Integral tidak perlu disebut unitaris. Dan mereka yang menolak Mosi Integral pun tidak perlu disebut federalis. Karena persoalan yang terletak di hadapan kita, kata Natsir, tidak ada hubungannya dengan bentuk struktur negara federalis atau unitaris, melainkan bagaimana kita menginventarisir hasil perjuangan bersama guna kepentingan bersama pula di masa depan.
Berkat kearifan Natsir di dalam menyusun  Mosi Integral, mosi itu diterima secara aklamasi oleh Parlemen RIS. Pemerintah juga menerima dengan baik Mosi Integral Natsir. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta menyatakan bahwa dia akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.  
Dengan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman, proses kembali ke NKRI berlangsung mulus dalam suasana damai. Tidak ada setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tidak ada seorang pun yang merasa dipermalukan.
Jejak Politisi Muslim
Pembentukan nasionalisme, proses menjadi Indonesia, perjuangan melanjutkan eksisitensi RI melalui PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat signifikan.         
Betapa tidak mudah menjadi Indonesia. Para pendahulu kita dengan caranya masing-masing telah meretas jalan ke arah pembentukan negara-bangsa Indonesia. Di antara yang telah memberi peran cukup signifikan ialah para pemimpin dan politisi Muslim. Oleh karena itu, umat Islam memiliki tanggung jawab sangat besar untuk melanjutkan peran sejarah para pendahulu kita: merawat NKRI ini sebaik-baiknya. Yang tidak kalah pentingnya, sesungguhnya sejak dahulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat yang dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka kepada mereka yang tiba-tiba sangat bersemangat berbicara mengenai NKRI sebagai harga mati, marilah kita baca sejarah dengan hati jernih, jujur, dan benar.
Wa Allahu ‘alam bi al shawab.[]
Sukabumi, 13 November 2016
13 Shafar 1438





[1] Disampaikan dalam Pelatihan Kepemimpinan Kreatif (Creative Leadership Training) Berbasis Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Tingkat Intermediate), Pusat Studi Pembangunan Hukjum Lokal, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 17 November 2016 di Gedung Pondok Pemuda Ambarbinangun, Bantul, Yogyakarta.
[2] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Jakarta, Grafiti Press, 1985, halaman 1.
[3] A.P.E. Korver, ibid, halaman 2-5.
[4] Tentang Al-Imam lebih lanjut, lihat antara lain Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, Umminda, 1982, halaman 96-98.
[5] Organisasi ini pada mulanya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan di Surakarta, Jawa Tengah, oleh H. Samanhudi dan kawan-kawan. Tentang hari lahirnya, terdapat setidaknya tiga versi: 16 Oktober 1905, 1911, dan 11 November 1912.
[6] Didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1303 bertepatan dengan 18 November 1912.
[7] Istilah “Dwitunggal SI-Muhammadiyah” ini diperkenalkan oleh Mohammad Natsir, mantan Ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi, inisiator Mosi Integral yang mengembalikan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Perdana Menteri (pertama) Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dalam kuliah subuh di Masjid Al-Munawwarah, Tanah Abang, Jakarta, pada 20 Agustus 1978.
[8] Tentang Budi Utomo ini, Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta, Komunitas Bambu, 2012, halaman 82-83 mencatat sebagai berikut: “Organisasi yang dibentuk pada 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo (1857-1917), Dr. Soetomo, dan Gunawan Mangunkusumo dan dianggap sebagai awal kebangkitan nasional Indonesia. Pada awalnya organisasi ini ingin memajukan kajian kebudayaan Jawa dan meningkatkan akses kepada pendidikan Barat, tetapi secara bertahap semakin bersifat politik. Contohnya adalah tuntutan Budi Utomo pada 1914 untuk membentuk milisi Hindia. Didominasi oleh priyayi rendahan dari pegawai kolonial, organisasi ini juga konservatif dan disetujui oleh pemerintah kolonial sebagai hasil Politik Etis. Sebagai hasilnya, organisasi ini tidak terlalu dipercaya oleh partai-partai politik nasionalis lainnya. Pada 1935, organisasi ini membubarkan diri dan bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra).”
[9] Bonnie Triyana, “Titian Bercabang Sang Herucokro” dalam Budi Setyarso Redaksi KPG (Tim Penyunting), Seri Buku TEMPO Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Cekatan Keempat, 2016, halaman 135-136.
[10] “Dari Diskusi Gemuis Yogyakarta: Perlu Interpretasi Rasional untuk Menjawab Tantangan”, Pelita, 31 Juli 1981.
[11] Drs. H. Munandi Shaleh, M.Si, K.H. Ahmad Sanusi Pemikiran dan Perjuangannya  dalam Pergolakan Nasional, Tangerang, Jelajah Nusa, 2014, halaman 11.
[12] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, Cetakan Keempat, 1988, halaman 83.
[13] Deliar Noer, ibid, halaman 82-83.
[14] Deliar Noer, ibid, halaman 95.
[15] Tentang sejarah Pondok Pesantren Tebuireng, lihatlah H. Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta, Panitya Buku Peringatan alm K.H.A. Wahid Hasjim, 1957, halaman 61 dan seterusnya. Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES, 1982, halaman 100. 
[16] Zamakhsyari Dhofier, ibid, halaman 104-105.
[17] Zamakhsyari Dhofier, ibid, halaman 106.
[18] Taufik Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005, halaman xii.
[19] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987, halaman 61-62.
[20] Remy Madinier, Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, Jakarta, Penerbit Mizan, 2013.
[21] Mr. Sjafruddin Prawiranegara, “Roem, Manusia dan Kawan Ideal” dalam Soemarso Soemarsono (Redaksi Pelaksana), Mohamad Roem Pejuang-Perunding, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1978, halaman 223.
[22] Taufik Abdullah, “Kisah PDRI Sebuah Refleksi Sejarah” dalam Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (Editor), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah, Jakarta, Harian Republika, 2011.

Tidak ada komentar: