Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

30 Mei 2015



Jalan Mrican Gang Sambu Tiga[1]
Oleh: Lukman Hakiem[2]

            Dalam dinamika kehidupan kemahasiswaan di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP, kini Universitas Negeri Yogyakarta, UNY) Karangmalang, khususnya dinamika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di lingkungan Koordinator Komisariat (Korkom) IKIP Yogyakarta mulai 1979 sampai awal 1990-an (?), sebuah rumah di Jalan Mrican Gang Sambu No. 3, tentu tidak boleh diabaikan.
            Rumah permanen dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dan satu dapur tempat memasak itu pertama kali disewa oleh pengurus HMI Korkom periode 1978/1979 di bawah kepemimpinan Saudara Sudirman (Fakultas Keguruan Teknik, FKT) untuk dimanfaatkan menjadi Kantor Sekretariat sekaligus pusat kegiatan HMI di lingkungan Korkom.
            Sebelum menyewa rumah di Sambu 3, sekretariat HMI Korkom dan Komisariat di lingkungan IKIP menyebar mengikuti tempat kos Ketua atau Sekretaris. Beruntung, HMI Komisariat Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) punya alumni yang baik hati, sehingga bisa “berkantor” di rumah alumni, Mas Ekram Prawiro di Demangan Kidul. Ketika Pak Dochak Latief menyewa rumah untuk usaha percetakannya di Jl. Narada 4. Komisariat FKIS pun acap berkegiatan di situ. Kebetulan salah seorang senior Komisariat FKIS yang juga Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogya, M.S. Abbas, ngekos di kamar depan rumah tempat percetakan Pak Dochak itu.
Akbar Tanjung Membantu
            Korkom menyewa rumah tersebut selama satu tahun. Dari mana uangnya? Pada pertengahan 1970-an itu, test masuk perguruan tinggi diselenggarakan sendiri oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Kenyataan itu “dimanfaatkan” oleh pengurus HMI di lingkungan Korkom IKIP untuk menyelenggarakan bimbingan test masuk IKIP Yogyakarta.
            Soal-soal test masuk tahun sebelumnya diperbanyak (distensil) untuk dijual kepada para calon mahasiswa. Pada waktu yang ditentukan, soal-soal test tersebut dibahas bersama dengan bimbingan para aktivis senior HMI, baik yang masih mahasiswa maupun yang telah menjadi dosen muda.  Para calon mahasiswa baru yang telah membeli soal-soal test tersebut dipersilahkan untuk mengikuti pembahasan bersama secara cuma-cuma (gratis).
            Entah karena gratis, atau karena bimbingan testnya yang berkualitas, bimbingan test HMI sangat diminati oleh para calon mahasiswa IKIP. Tidak heran jika penyelenggaraan bimbingan test selama 2-3 hari itu diselenggarakan di sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN, sekarang Madrasah Aliyah Negeri) di Terban, di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA, kini MAN) di Jalan K.H.A. Dahlan, di SMP Muhammadiyah Kompleks Colombo, dan di berbagai sekolah lain. Semua ruang kelas di sekolah-sekolah tersebut penuh terisi oleh peserta bimbingan test HMI.
            Oleh karena panitia dan seluruh tutor tidak ada yang diberi honorarium, kecuali sekadar minum dan makan nasi bungkus, maka sesudah dipotong dengan biaya operasional pendapatan dari bimbingan test cukup besar untuk membiayai kegiatan organisasi. Komisariat-komisariat itu kemudian menyisihkan sebagian dananya untuk urunan menyewa rumah di Sambu 3 itu. Tentu saja Korkom pun turut pula urunan.
            Ketika saya didaulat untuk menjadi Ketua Korkom, pekerjaan rumah pertama adalah memperpanjang kontrak. Waktu itu, uang sewa per tahun Rp 90.000,00. Saya berencana mengontraknya minimal dua tahun. Tidak enak meminta terus ke Komisariat, bersama Saudara Zainal Abidin MZ (Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta, FKIE), saya pergi mencari dana ke Jakarta. Masih jelas dalam ingatan saya, dari Ketua Umum DPP KNPI, Akbar Tanjung, kami memperoleh bantuan Rp 100 ribu. “Untuk sewa sekretariat satu tahun Rp 90 ribu, sisanya untuk uang makan dan ongkos kalian pulang ke Yogya,” ujar Ketua Umum PB HMI periode 1971-1974 itu. Untuk uang sewa satu tahun lagi, kami mendapatkannya dari sejumlah alumni yang lain, dan urunan dari Komisariat. Alhamdulillah!
Ingin Jadi Orang Baik
            Oleh karena uang sewa Sambu 3 diperoleh dari urunan Komisariat, pada mulanya  yang tinggal di situ adalah utusan resmi Komisariat. Mereka diutus untuk tinggal di Sambu 3  secara gratis. Pada periode awal, hanya tiga Komisariat yang mengirim utusan. Di kamar depan utusan dari Komisariat FKT yaitu Saudara Haryadi, Saudara Shalahuddin, Saudara Joko Mujiono, dan Saudara Bambang PS. Di kamar tengah, utusan dari FKIS yaitu Saudara Muhibbah Nasruddin, dan saya. Di kamar belakang, utusan dari Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) yaitu Saudara Hasbi Asshiddiqie, dan Saudara  Subakti Parbu.
            Karena kamar tidur terletak berjejer, maka ruang tamu jika disambung dengan teras dan ruang belakang, lumayan luas juga. Di ruang itulah, berbagai aktivitas Komisariat atau Korkom dilakukan, mulai dari rapat-rapat, diskusi, shalat jama’ah, lomba memasang dasi, dan kalau malam menjadi ruang tidur para aktivis yang kemalaman atau malas pulang.
            Meskipun utusan Komisariat yang tinggal di Sambu 3 dipergilirkan, pada kenyatannya beberapa penghuni tetap tinggal di Sambu 3 sampai mereka menyelesaikan studinya. Tentu saja dengan membayar uang kontrak sendiri. Belakangan, ketika keuangan Komisariat dan Korkom tidak terlalu kuat lagi, maka semua penghuni membayar sendiri. Anehnya meskipun membayar sendiri, dan relatif selalu terganggu, karena aktivitas Komisariat dan Korkom tetap dipusatkan di sana, penghuni Sambu 3 tetap ramai, malah bertambah.
            Penghuni baru yang masih saya ingat antara lain Dardiri Dahlan, M. Yusuf, Yanuarto, Yuskardi, Zainal Arifin, M. Jamal, Asrori, Priyo Abdurrahman,  Abdurrahman Palopo, Chamim Prawiro,  Parjono, dan Taufik Nugroho; sementara para penghuni lama yang sudah habis mandatnya tetap tinggal di Sambu 3. Ketua Dema IKIP Yogya periode 1977/1978, Said Tuhuleley tergoda juga untuk tinggal di Sambu 3. Ada juga beberapa kader yang hanya datang di waktu malam untuk numpang tidur. Pagi-pagi, entah mandi dulu atau tidak, pendatang malam itu pergi untuk kembali nanti malam.  
            Kelak, ketika pemilik rumah menambah bangunan di sayap kanan, salah seorang penyewa adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Atmajaya, Saudara Sudarto. Ketika diberitahu bahwa rumah itu berfungsi sebagai pusat kegiatan HMI, sehingga kemungkinan bakal mengganggunya, Sudarto malah menjawab: “Justru karena saya ingin jadi orang baik, maka saya memilih menyewa kamar di sini.” Berbelas tahun kemudian, jika ada kegiatan buka puasa bersama aktivis Sambu 3 di Jabotabek, beberapa kali Sudarto menjadi tuan rumah.
            Belakangan, aktivis HMI Cabang Yogyakarta non-IKIP seperti Hidayat Tri (UGM), Hidayat Sayekti (UII), dan Suharsono (UII)  betah pula tinggal di Sambu 3.
Sentilan Cak Nun
            Di sebelah kanan rumah, terdapat tanah kosong yang cukup luas milik Pak Dukuh yang masih keluarga pemilik rumah. Pak Dukuh yang baik hati itu, mempersilahkan penghuni Sambu 3 dan HMI menggunakan tanah kosong tersebut. Maka, selain digunakan oleh penghuni Sambu 3 sebagai tempat olahraga bulu tangkis dan sepak takraw, di hari-hari tertentu tanah kosong tersebut digunakan pula untuk kegiatan HMI menyambut hari-hari besar Islam dan nasional. Beberapa kali Komisariat dan Korkom memanfaatkan tanah kosong tersebut untuk pertandingan olah raga, lomba balap karung, dan tabligh akbar.
            Dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriah 1400 yang digadang-gadang sebagai abad kebangkitan umat Islam, Korkom menyelenggarakan tabligh akbar mengundang aktivis Masyumi, Mohammad Darban, dan meminta Emha Ainun Nadjib membacakan puisi-puisinya. Alhamdulillah acara berjalan sukses, dan masyarakat tumpah ruah mendatangi acara tersebut.
            Cak Nun yang terkenal dengan pikiran bebas dan celetukannya, sebelum membaca puisi menyentil gerakan mahasiswa yang saat itu sedang giat menentang konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pasca penangkapan tokoh-tokoh mahasiswa dan pembubaran Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa.
Cak Nun antara lain mengatakan sekarang para mahasiswa bicara idealisme, tapi lihatlah 5-10 tahun lagi apakah idealismenya itu masih ada? Sebenarnya itu warning yang biasa-biasa saja, akan tetapi teman-teman aktivis yang hadir malam itu, keberatan dengan sentilan Cak Nun yang meragukan idealisme mereka.  Agak emosional, mereka hendak bereaksi. Saya dan Pak Said menenangkan dan mencegah. Alhamdulillah, teman-teman itu masih mau mendengar “nasihat” kami berdua. Dan acara malam itu berlangsung meriah, aman, dan lancar, tanpa sesuatu insiden.
Entah bagaimana, peristiwa malam itu sampai ke Bandung. Aktivis mahasiswa ITB yang sesudah pemilihan umum 1977 turut mendeklarasikan terbentuknya DPR Sementara --menggantikan DPR hasil pemilihan umum 1971 yang oleh Ketuanya, K.H. Dr. Idham Chalid dinyatakan demisioner--  Roel Sanre, datang ke Sambu 3 mengklarifikasi info yang dia terima dan mengajak saya untuk bertemu dengan Cak Nun. “Anda harus islah dengan Cak Nun,” kata Roel. Saya cuma ketawa, karena tidak merasa ada yang perlu diislahkan.   
Mengenang M. Rusli Karim
            Di Sambu 3 itulah minat, bakat, dan penalaran dikembangkan. Di Sambu 3 itu setiap malam Minggu akhir bulan, saya dan  M. Rusli Karim, di bawah sinar lampu petromaks (saat itu Sambu 3 belum berlistrik), bertelanjang dada begadang sampai subuh mempersiapkan (baca: mengetik di kertas stensil) bulletin/majalah Sosio terbitan HMI Komisariat FKIS. Bermula dari sinilah saya dan Rusli mengembangkan kemampuan menulis, dan diam-diam kami “bersaing”. Jika tulisan Rusli dimuat di suatu media, ketika ketemu di Fakultas, dari jauh dia sudah berteriak: “Luk, tulisan saya dimuat di koran nih. Ayo, Anda menulis dong.” Lain kali, ketika tulisan saya dimuat di suatu media, saya menunjukkannya kepada Rusli Karim.
Kelak, Rusli Karim dikenal sebagai penulis yang produktif. Ratusan tulisannya muncul di berbagai koran, majalah, dan jurnal ilmiah. Puluhan bukunya diterbitkan. Beberapa bukunya, terutama mengenai politik Indonesia kontemporer, sampai hari ini masih menjadi referensi.
Suatu malam, di tengah asyik mengetik bahan-bahan Sosio, saya berkata kepada Rusli. “Rus, kita ini aneh. Orang-orang itu malam Minggu pergi pacaran, kita malah kerja bakti.” Dengan serius, seperti biasanya, Rusli menjawab: “Pacaran itu manfaatnya cuma 20%.” Sampai sekarang saya tidak tahu, apa dasar hitungan Rusli mengenai manfaat pacaran yang hanya 20% itu. 
            Sampai Rusli Karim menghembuskan nafas terakhirnya, persahabatan kami tetap terjaga. Perjalanan hidup membawa saya ke Jakarta, dan Rusli tetap di Yogya menjadi tenaga pengajar di FKIS. Setiap kali ke Jakarta, Rusli pasti menyambangi saya di kantor majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Jalan Kramat Raya 45, baik untuk sekadar melepas kangen atau untuk diskusi serius mengenai isu tertentu. Oleh karena itu pula, jika ke Yogya, saya pun menyempatkan diri mengontaknya, dan dengan antusias Rusli menjemput saya dari penginapan untuk diajaknya ke kantor penerbitan tempatnya bekerja. Ketika dia baru saja membeli rumah di Perumahan Nogotirto, dengan riang gembira dia mengajak saya ke rumahnya.  
Ketika menulis disertasi mengenai HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), beberapa kali dia mendiskusikan dan mengklarifikasi materi disertasinya kepada saya. Barangkali itu sebabnya secara khusus dia memberi saya naskah disertasi yang sudah dijilid rapi. “Sebelum diuji, tolong Anda baca dan koreksi dulu naskah disertasi ini.” Manusia merencanakan, Allah subhanahu wa ta’ala juga yang Maha Menentukan. Sebelum naskah itu selesai saya baca, M. Rusli Karim berpulang ke rahmatullah.
Suatu hari telepon di kantor saya berdering. Dari ujung sana terdengar suara Pak Said Tuhuleley.[3] Dengan suara bergetar, Pak Said memberi kabar bahwa M. Rusli Karim dirawat di RS. Panti Rapih. “Kondisinya kritis,” kata Pak Said, “Kesadarannya terus menurun, dan dia selalu menyebut nama Anda. Kalau bisa, Anda datanglah menjenguk Rusli. Mungkin usianya tidak lama lagi,” ujar Pak Said. Tidak terasa mata saya basah. Sangat ingin saya terbang ke Yogya untuk menemui sahabat karib saya itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian Pak Said kembali menelepon, memberi kabar bahwa M. Rusli Karim sudah berpulang ke rahmatullah. Allahummaghfilahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.
Pusat Aktivitas Politik Mahasiswa
Sebagai pusat aktivitas HMI di lingkungan Korkom, Sambu 3 juga menjadi pusat “aktivitas politik” mahasiswa IKIP Yogya.
Sebagai “partai tunggal” di Kampus Karangmalang, HMI menempatkan kader-kadernya di hampir semua posisi penting di lembaga kemahasiswaan. Tidak hanya di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa; kader-kader HMI juga menempati posisi penting di Resimen Mahasiswa. Rochmiyati dari FIP, sekadar menyebut salah seorang contoh, adalah aktivis Menwa yang kelak terpilih menjadi Ketua Korps HMI Wati Cabang Yogya. Falatehan anggota Menwa yang pernah dikirim ke Gurun Sinai, adalah aktivis HMI Komisariat FKT. Kader-kader HMI juga aktif di dalam kegiatan kemahasiswaan yang bersifat pengembangan bakat dan kegemaran seperti Kelompok Pencinta Alam, group musik, dan kelompok teater.      
Dengan kenyataan itu, maka posisi Korkom menjadi amat sentral. Hampir semua isu kemahasiswaan di IKIP, diperbincangkan dan diatur taktik dan strateginya di Sambu 3. Jika ada hal-hal yang krusial, Ketua Korkom memanggil kader-kadernya yang duduk di lembaga kemahasiswaan, dan kader-kader itu dengan senang hati memenuhi undangan itu ke Sambu 3.
Dari Sambu 3 dirumuskan desakan kepada Rektor agar membangun Masjid Kampus. Dari Sambu 3 dirumuskan rancangan kegiatan Karangmalang Ramadhan ketika pertama kali kegiatan Ramadhan itu diselenggarakan. Dari Sambu 3 direncanakan rute takbir keliling di malam Idul Adha, dan penyembelihan kurban keesokan harinya. Dari Sambu 3 dirancang cara “menyambut” kedatangan Menteri Muda Urusan Pemuda, dr. Abdul Gafur yang akan membuka seminar yang digagas oleh Senat Mahasiswa FIP. Di Sambu 3 juga dibicarakan sikap menghadapi kedatangan Presiden Soeharto ke Kampus Karangmalang.
Pendek kata tidak ada satu pun kegiatan kemahasiswaan yang tidak dibicarakan di Sambu 3, baik resmi maupun tidak resmi. Dengan nada agak terdengar sombong, dapatlah dikatakan, pada masanya, Sambu 3 adalah lokomotif gerakan keislaman dan kemahasiswaan di Kampus IKIP Karangmalang. 
Di lingkungan HMI Cabang Yogyakarta, peran Sambu 3 pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Menghadapi Konferensi Cabang (Konferca), misalnya, Korkom mengundang semua pimpinan Komisariat di lingkungan IKIP untuk mendiskusikan dan merumuskan program apa yang akan ditawarkan oleh Korkom IKIP ke Konferca. Berdasarkan rumusan program yang ditawarkan, ditetapkanlah kriteria orang yang dianggap cocok untuk menjalankan program itu. Dari situ muncul peringkat nama-nama calon Ketua Umum HMI Cabang. Tentu saja calon di peringkat pertama menjadi prioritas untuk diperjuangkan.
Diskusi menghadapi Konferca itu bisa berlangsung 3 sampai 4 kali. Hasil diskusi diperbanyak dan dibagikan kepada seluruh peserta Konferca.
Kreatif Merancang Kegiatan
Nama Sambu 3 makin diperhitungkan di blantika kemahasiswaan, bukan saja karena banyaknya aktivitas HMI di sana, tetapi juga karena para penghuni Sambu 3 kreatif merancang kegiatan.
Selain mentradisikan shalat Maghrib berjama’ah --dengan imam Saudara Muhibbah yang bacaannya fasih dan suaranya merdu, dan karena itu kami menggelarinya Ustadz-- warga Sambu 3 juga mentradisikan kuliah tujuh menit (kultum) sesudah shalat Maghrib. Penyaji kultum dipergilirkan di antara warga Sambu 3. Jika kebetulan Maghrib itu ada tamu, maka sang tamu diberi kehormatan untuk menyampaikan kultum. Uniknya, jika dalam kultum ada sesuatu yang menarik perhatian, secara spontan terjadi diskusi.
Belasan tahun kemudian, salah seorang mantan warga Sambu 3 berbisik kepada saya, “Bang, dulu kalau sudah dekat giliran memberi kultum, saya grogi. Karena grogi itu, saya mencari bahan. Alhamdulillah, berkat tradisi kultum di Sambu 3 itu, ilmu saya bertambah.”
Setiap malam Jum’at, warga Sambu 3 menyelenggarakan diskusi dengan topik-topik yang telah ditentukan. Diskusi ini tidak hanya diikuti oleh aktivis HMI. Diskusi juga memberi kesempatan kepada aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), atau aktivis yang dikenal berhaluan sosialis, untuk mengemukakan gagasannya. Karena diselenggarakan setiap malam Jum’at, maka group diskusi ini populer dengan nama Group Diskusi Maju.
Tradisi lain yang dikembangkan oleh warga Sambu 3 ialah mengundang tokoh politik, tokoh organisasi kemasyarakatan, dan para cendekiawan untuk berceramah dan berdiskusi di Sambu 3. Maka, tokoh-tokoh dari luar Yogya seperti H.M. Sanusi (generasi awal HMI, mantan Menteri Perindustrian Ringan, salah seorang penandatangan Petisi 50), H. Lukman Harun (Pimpinan Pusat Muhammadiyah), M. Habib Chirzin (Pondok Pabelan), Hidayat Nataatmadja (IPB), Abdullah Hehamahua (Ketua Umum PB HMI 1979-1981), Komaruddin Hidayat (aktivis HMI Ciputat, kelak Rektor UIN Ciputat), dan Heri Akhmadi (mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB) pernah duduk lesehan berdiskusi di Sambu 3.
Tentu saja kaum cendekiawan Yogya seperti Ahmad Syafii Maarif, Afan Gaffar, Dochak Latief, Hussein Ahmad, Kuntowijoyo, M. Adaby Darban, M. Amien Rais, Sahirul Alim, dan Saifullah Mahjuddin paling sering diajak duduk lesehan di Sambu 3.
Dari kalangan perempuan, yang telaten memenuhi undangan Kohati ke Sambu 3 antara lain Ny. Hadiroh Ahmad Muhsin, Ny. Susi Kuntowijoyo, Nahiyah, dan Chairunnisa (kini dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Manis dan Pahit
Tidak syak lagi, semua aktivitas warga Sambu 3 itu telah menambah wawasan. Juga meninggalkan kesan manis dan pahit. Bagi yang kreatif seperti Hadi Supeno (FIP, saat tulisan ini dibuat: Wakil Bupati Banjarnegara), diskusi di Sambu 3 bisa pula mendatangkan uang. Selesai diskusi Bung Peno diam-diam menyelinap ke kamar, tak-tek-tok dia mengetik. Jadilah reportase diskusi yang dikirimnya ke Kedaulatan Rakyat. Besok atau lusa, reportasenya muncul di KR. Tentu saja ada honorarium untuk pemuatan reportese itu, Saya tidak ingat, apakah honorarium tulisannya itu dibagikan kepada warga Sambu 3 atau tidak.
Entah berbagai honor atau tidak, mendapat rizki dari aktivitas Sambu 3, bagi Bung Peno tentu merupakan kenangan manis.
Kenangan manis lain, pada hari Minggu warga Sambu 3 biasa masak dan makan  bersama dengan menu sederhana: telur dadar, sambal, dan lalab rebus gambas. Sederhana menunya, tapi karena makan bersama di ruang tengah, nikmatnya luar biasa.
Kenangan pahit pernah saya dan Ustadz Muhibbah alami pada suatu Ramadhan. Sambu 3 yang belum berlistrik, jarak dengan masjid yang agak jauh, dan tetangga yang masih jarang, membuka peluang untuk terlambat bangun. Apalagi, tidur kami malam itu agak larut malam. Saat terbangun, bergegas saya pergi ke dapur untuk menanak nasi. Ketika nasi hampir matang, Ustadz Muhibbah menghidupkan radio, dan berkumandanglah suara adzan Subuh dari RRI Yogya. Kompor langsung saya matikan. Bukan soal tidak bersantap sahur yang saya sesalkan. Soal nasi yang hampir matang itu lho! 
Kenangan yang lebih pahit dialami oleh Bung Yanuarto. Sahabat kita yang berasal dari Purbalingga itu tentu tidak mungkin melupakan kenangan pahit yang dialaminya di Sambu 3 ketika pada suatu dinihari, saat sedang nyenyak tidur dia dibangunkan untuk ditangkap tentara, gara-gara bersama Bung Yaminuddin, Bung Peno, dan lain-lain mendemo Rektor St. Vembiarto yang telah menskors tiga mahasiswa selama satu tahun hanya karena tidak berdiri saat Presiden Soeharto memasuki ruangan acara peresmian gedung Rektorat dan gedung FKT bantuan dari Bank Dunia.
Supaya tidak makin banyak kenangan yang terbongkar, baiknya saya akhiri saja tulisan ini.
Wa Allahu a’lam bi al shawab.
Sukabumi, Sya’ban 1436
                   Mei     2015            
       
              
              
                           
           
                    


[1] Tulisan ini dibuat berdasarkan ingatan untuk memenuhi permintaan teman-teman Korps Alumni HMI IKIP/UN Yogyakarta yang sangat bersemangat itu. Mohon maaf jika tidak semua tokoh dan persistiwa tercatat dalam tulisan ini. Mohon maaf juga jika tulisan ini berlebihan atau terlalu banyak kekurangannya. Mudah-mudahan tulisan ini memprovokasi teman-teman sesama aktivis HMI Korkom IKIP Yogyakarta khususnya, aktivis HMI Cabang Yogyakarta umumnya, untuk menulis sejarahnya lebih lengkap lagi.
[2] Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Koordinator Komisariat Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (HMI Korkom IKIP) Yogyakarta periode 1979-1980.
[3] Sejak dulu saya menyapa Said Tuhuleley dengan sapaan Pak. Pada masanya, sapaan itu lazim saja di kalangan mahasiswa IKIP. Mungkin karena sadar bakal menjadi guru, maka kepada sesama mahasiswa kami saling menyapa dengan “Pak” atau “Ibu”. Belakangan, ketika dinamika perjuangan mahasiswa melawan rezim Orde Baru meningkat, sapaan itu berubah menjadi “Bung”. Sampai sekarang, misalnya, saya biasa menyapa Ketua Korkom sesudah saya, Yaminuddin dan Hadi Supeno dengan sapaan Bung Yamin dan Bung Peno.

27 Mei 2015

Menegakkan Etika Kekuasaan


Mengenang 66 Tahun Pernyataan Roem-van Roijen
Oleh: Lukman Hakiem
            PADA 19 Desember1948, pagi-pagi buta, tentara Belanda menyerbu ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri. Serangan militer juga dilakukan Belanda tehadap ibu kota Sumatera Tengah, Bukittinggi.  Bagi Belanda, serangan militer, pendudukan ibu kota dan penangkapan pimpinan pemerintahan RI, memang dimaksudkan untuk mengakhiri riwayat RI yang kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
            Dalam situasi genting, para pemimpin Ri tidak kehilangan akal sehat. Di tengah deru pesawat tempur Belanda yang menyerang Yogya, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta memimpin sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota, dan memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Mandat yang lain diberikan kepada dr. Sudarsono, LN. Palar, dan AA. Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat, jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera tidak berhasil.
Dari PDRI ke Resolusi DK PBB
Segera sesudah mendengar kabar didudukinya ibu kota Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin Republik, Sjafruddin yang tidak pernah mengetahui adanya mandat untuk membentuk pemerintahan darurat, menemui Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera (Kompempus, sekarang Gubernur), Mr. T.M. Hasan guna menyampaikan pendapatnya tentang kemungkinan kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif di dalam maupun di luar negeri, dan karena itu perlu segera dibentuk pemerintahan darurat untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam keadaan bahaya.
Sebagai seorang ahli hukum, pada mulanya Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Apalagi Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera tidak ada  yang memegang mandat untuk membentuk pemerintahan. Akan tetapi, tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan telah mengatasi pertimbangan hukum. Maka pada 19 Desember 1949 sore, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu pemerintahan darurat. Disepakati pula pemerintahan darurat itu akan dipimpin oleh Sjafruddin sebagai Ketua, dan T.M. Hasan sebagai Wakil Ketua.
Eksistensi PDRI bukan saja diakui oleh para pemimpin Republik, termasuk Panglima Besar Jenderal Sudirman di Jawa, tetapi juga pesan-pesan yang disampaikannya melalui pesawat radio berpengaruh positif terhadap tingkatan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Siaran radio PDRI yang sampai di New Delhi, mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru, untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna memberi dukungan kepada Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afghanistan, Australia, Arab Saudi, Birma (kini Myanmar), Ethiopia, India, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Sri Langka, dan Yaman sebagai peserta. Ada pun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau. Dalam Kongres itu, Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri PDRI, AA. Maramis, dan Wakil Tetap RI di PBB, dr. Sudarsono.
Konferensi mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya untuk memulihkan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahirlah Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi militer, membebaskan para pemimpin RI yang ditahan, dan kembali ke meja perundingan.
Pernyataan Roem-van Roijen
Belanda yang semakin terjepit posisinya, melalui Wakil Tertinggi Ratu Belanda di Indonesia, Dr. Beel, mencoba mengelak dari kewajiban mematuhi Resolusi DK-PBB. Dia menawarkan “Rencana Beel” yaitu mengundang para pemimpin Indonesia yang saat itu semuanya sudah dikumpulkan di Bangka, untuk datang ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, langsung dari Bangka.  Rencana Beel itu ditolak. Para pemimpin RI menuntut supaya sebelum KMB dilaksanakan, kedudukan Republik Indonesia dipulihkan lebih dulu.
Sikap para pemimpin RI di Bangka itu didukung oleh para pemimpin lain yang tidak ditawan seperti Dr. Darmasetiawan, Dr. Halim, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh itu mengingatkan supaya para pemimpin di Bangka tidak meninggalkan PDRI, dan menjadikan berdirinya pemerintahan RI di Yogyakarta sebagai kartu penting dalam perundingan dengan Belanda.
Mr. Mohamad Roem yang sejak Linggajati sampai Renville terlibat dalam proses perundingan dengan Belanda, gigih mempertahankan garis perjuangan itu. Ketika Ketua Komisi Tiga Negara (KTN), Merle Cohran, mengundang Belanda dan Indonesia untuk memulai perundingan di Jakarta pada 30 Maret 1949, Roem menolak. Menurut Roem, jika undangan KTN dipenuhi sebelum Belanda menyetujui pemulihan RI di Yogya, itu akan menimbulkan kesalahpahaman yang besar sekali. Karena itu Roem menegaskan, dirinya hanya bersedia untuk membicarakan lebih dulu secara detail segi-segi praktis pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. 
Setelah tidak mampu mengelakkan desakan internasional, akhirnya atas inisiatif KTN, perundingan Belanda dengan Indonesia dimulai di Jakarta pada 14 April 1949. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen, dan delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem.
Berbeda dengan van Roijen yang dalam pidato di awal perundingan bernada lemah lembut, Roem berpidato tegas dan keras; “Agresi militer Belanda yang kedua telah mengakibatkan hlangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai,” kata Roem seraya mengingatkan: “Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain bisa dibicarakan kemudian.”
Wakil Ketua Delegasi RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang partainya selalu bersikap keras terhadap Belanda, menyebut pidato Roem pada pembukaan perundingan, “agak seram.”
Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasillkan Pernyataan van Roijen-Roem (van Roeijen-Roem Statement) sebagai sebuah “Pernyataan Permulaan mengenai Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Pada penutupan perundingan, Roem lebih dulu berpidato. Roem antara lain mengatakan bahwa dirinya selaku Ketua Delegasi RI diberi tugas oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi, sesuai dengan Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 dan Pedoman Pelaksanaan tanggal 23 Maret 1949. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.
Sesudah itu van Roijen berpidato menyampaikan persetujuan Pemerintah Belanda untuk memulihkan Pemerintah RI di Yogyakarta, menghentikan segala kegiatan militer, membebaskan semua tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948, membatasi pembentukan negara-negara bagian di daerah Republik sampai pada keadaan sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan memperluas dengan yang baru di daerah-daerah tersebut, serta akan berusaha keras melaksanakan KMB untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang nyata dan sempurna kepada Negara Indonesia Serikat.
Atas dasar Pernyataan Roem-Roijen itulah, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogya, dan itu berarti Pemerintahan RI berfungsi kembali sebagaimana mestinya.
Mengenai kembali ke Yogyakarta sebagai prasyarat pelaksanaan KMB, Roem yang turut ditangkap dan dibuang ke Bangka mengatakan: “Kami secara fisik lemah di Bangka itu, tetapi sekembali kami di Yogyakarta kami bisa mengatur kembali kekuatan kami dan rakyat, dan seterusnya mengatur kembali daerah-daerah yang lain.”
Yogya Kembali, Yogya Menanti
Sebagai salah satu episode dari  bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kedaulatan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi negara RI. Bagi Mohamad Roem, Pernyataan itu telah menempatkan tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah itu, dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Meskipun demikian, Pernyataan Roem-van Roijen menyisakan masalah di kalangan para pemimpin dan pejuang. PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil selama Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri ditawan oleh Belanda, merasa ditinggalkan. Dalam kata-kata Sjafruddin ketika menulis untuk Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang-Perunding: “Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Sukarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI-lah pada waktu itu satu-satunya Pemerintah yang sah” 
Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Sudirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal TB. Simatupang dalam bukunya yang kini menjadi klasik, Laporan dan Banaran, mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogya menunggu kedatangan dua pemimpin-pejuang: Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Sudirman bagi para pemimpin yang telah berada di Yogyakarta sangat crusial. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno-Hatta ditawan Belanda? Dan sekarang, “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Akan tetapi, Sjafruddin dan Sudirman ternyata kembali juga ke Yogyakarta. Kedua pemimpin itu telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani  meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama.
Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman memilih kembali ke Yogya, demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali; memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the etics of power).
Seperti dicatat pakar sejarah Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dari kalimat pendek yang diucapkan Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Jejak Politisi Masjumi
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral M. Natsir yang memulihkan bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS} ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir revolusi kemerdekaan, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim dari Partai Masjumi telah memberikan peran yang sangat signifikan.
Bangsa ini semestinya mencatat dengan tinta emas peranan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir.
Akan tetapi, masihkah bangsa ini mengingat Pernyataan Roem-van Roijen dengan Mohamad Roem sebagai aktor utamanya?
Wa Allahu ‘alam bi al shawab.[]

Bahan bacaan:
  1. Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
  2. Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (ed), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah, Jakarta, Harian Republika, 2011.   
      

 


06 Januari 2015



H. MUHAMMAD TAHIR AZHARY
Memekarkan Teori Siyasah Diniyah Ibnu Khaldun
(Media Dakwah Nomor 213, Sya’ban 1412/Maret 1992, halaman 60-63)


CITA-CITA dan obsesi seseorang pada tingkat tertentu –seperti terbukti dalam sejarah—tidaklah senantiasa mewujud seiring dengan kehendak-kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain pihak, Dia tetap “membiarkan” kehidupan terkembang dengan segenap keganjilannya, untuk hamba-Nya. Bahkan di balik malapetaka yang mengejutkan, sering kali disembulkan-Nya hikmah, blessing in disguise!
Selebihnya, oleh karena seorang insan hanyalah berjalan ke masa depan, maka ucapan termasyhur filosof besar al-Ghazali (1058-1111): “Laisa fi al imkaani min maa kaana –tidak ada yang lebih baik dari apa yang telah terjadi,” dapatlah dijelaskan maknanya. Demikianlah, Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, S.H., yang lahir di Palembang pada 12 Mei 1939 dan semula bercita-cita menjadi diplomat, oleh kehendak Allah subhanahu wa ta’ala akhirnya harus ikhlas menggapai prestasi puncak di dunia intelektual di Universitas Indonesia.
Pada Maret 1991, di hadapan Tim Penguji yang terdiri atas: Prof. Padmo Wahjono, S.H., Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Joewono Soedarsono, Prof. Dr. Rahmat Djatnika, dan Prof. Dr. Poernadi Poerbatjaraka, S.H.; Muhammad Tahir yang mengecap pendidikan di SD Muhammadiyah (1947-1950), dan SD Al-Irsyad Jakarta (1950-1954) tu berhasil mempertahankan disertasi bertajuk: “Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.”
Disertasinya yang khas itu merupakan karya intelektual yang dipuji banyak pakar, termasuk pakar ilmu politik terkemuka dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), Deliar Noer, karena kajian yang dibuat Tahir dengan metodologi rasional-transendentl itu amatlah langka. Bukan tidak mungkin disertasi Tahir yang kemudian dibukukan dengan judul: Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta. Bulan Bintang, 1992) itu merupakan kajian pertama yang dilakukan oleh sarjana Muslim Indonesia.
Dipromotori oleh Prof. Dr. H. Ismail Sunny, S.H., MCL (sebagai pengganti Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang tengah sakit), dan Prof. Dr. Mohammad Daud Ali, S.H. (co-promotor), disertasi Tahir mendapat nilai “Sangat Memuaskan”, suatu prestasi akademik pertengahan antara “Memuaskan” dengan “Cum Laude”. Mengomentari yudisiumnya itu, dalam nada berseloroh, Tahir berkata: “Kata Nabi, khairul umuuru awsaathuha, sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”
Tahir terlahir sebagai buah cinta pasangan K.H. Ahmad Azhary dan Hj. Masturoh. Ayahanda Muhammad Tahir, K.H. Ahmad Azhary adalah anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi dari daerah pemilihan Sumatera Selatan. Pada saat Masyumi membubarkan diri, K.H. Ahmad Azhary adalah Ketua Majelis Syuro Pimpinan Pusat Masyumi. Sebagai pejuang yang tidak kerasan duduk berpangku tangan, sesudah Masyumi membubarkan diri pada 1960, K.H. Ahmad Azhary menyalurkan aspirasi politiknya dan tercatat sebagai tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Di awal kemerdekaan, K.H. Ahmad Azhary diminta Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk menjadi Menteri Agama menggantikan H.M. Rasjidi. Ayahanda Tahir itu tidak bisa memenuhi permintaan Sjahrir karena ditahan oleh Belanda. Dari ayahnya itulah, Tahir mendapat tempaan semangat juang dan ghirah Islam.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) II Muhammadiyah dan Sekolah Menengah Atas IV/C Negeri (1960), Tahir memulai karirnya sebagai guru bahasa Inggeris di SMP Weda (sore) Jalan Batu, Jakarta (1958-1968), guru privat bahasa Inggeris (1965-1970), dan pegawai Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jakarta (1962-1965). Di TVRI, Tahir sempat menulis naskah sandiwara televisi berjudul “Menjelang Lebaran” (1964)..  
Selain ayahandanya, tokoh yang dikagumi Tahir ialah Haji Agus Salim. Tahis mengagumi Salim terutama dari segi kepemimpinan, penguasaan bahasa, dan intelektualitasnya. “Yang paling saya kagumi dari H. Agus Salim ialah intelektualitasnya,” ungkap alumni Institute of Islamic Studies McGill University, Kanada itu seraya menambahkan bahwa cara berpikir Salim itu rasional-transendental sehingga Salim tidak kagum kepada Barat. “Salim menggunakan logika untuk menggali ajaran Islam,” tutur Tahir.
Bersama isterinya, Hj. Ike Camelia, dan anak-anaknya, Tahir yang menulis skripsi mengena ASEAN itu tinggal di Komplek Perumahan Dosen UI, Ciputat. Kini, selain mengajar di UI, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri, UIN –ed), Tahir aktif sebagai khatib shalat Jum’at di berbagai masjid, juga menulis di media massa.
Kepada Yudi Pramuko SPI dari Media Dakwah. Muhammad Tahir Azhary melontarkan pemikiran seputar disertasinya dan apresiasinya terhadap teori Ibnu Khaldun.
Apa latar belakang dan motifasi menulis disertasi ini?
Bismillahirrahmanirrahim. Sebenarnya penelitian tentang topik disertasi ini dimulai pada 1979. Salah satu latar belakangnya ialah keinginan mengetahui bagaimana konsep bernegara menurut Islam. Konsep bernegara dalam Islam merupakan suatu nomokrasi. Nomokrasi artinya negara hukum.
Nomokrasi?
Ya. Nomo berasal dari kata nomos, nomoy, artinya hukum. Krasi berasal dari kata kratos, artinya kekuasaan. Jadi, nomokrasi itu artinya kekusaan yang didasarkan kepada hukum. Dalam bahasa Inggeris sama dengan rule of law, dan rechtstaat dalam bahasa Belanda.
Mengapa saya menuis ini? Karena masalah ini belum pernah ditulis orang. Kalaupun ada, umumnya yang ditulis terbatas pada aspek keperdataan. Saya ingin mengintroduksi bahwa dalam hukum Islam bukan hanya keperdataan saja, tapi ada juga aspek publik. Nah, salah satu aspek publik itu berkaitan dengan soal kenegaraan.
Soal negara hukum selama ini banyak ditulis dari segi pemikiran Barat. Dari sudut pemikiran Islam, sepanjang yang saya ketahui, belum pernah diteliti.
Para sarjana yang notabene Muslim pun tidak banyak membahas hal itu. Ali Abdil Raziq pemikirannya bersifat sekuler.  
Ali Abdil Raziq dari Mesir?
Ya, dari Mesir. Meminjam ungkapan Prof. Dr. H. Peunoh Dali, pemikiran Raziq baru bersifat embrio, namun sudah mati. Tidak sempat besar. Buat kita tidak masalah, tapi bagi orang Barat lain lagi. Pemikiran Raziq mereka jadikan salah satu referensi bahwa dalam Islam itu tidak ada konsep bernegara. Itu menurut persepsi Barat setelah mengikuti Raziq. Pemikiran Raziq sendiri sudah ditolak oleh para sarjana kita.
Akan tetapi, yang sangat kita sayangkan, ada juga pemikiran yang hampir mirip. Tahun 1970-an misalnya, Nurcholish Madjid (mantan Ketua Umum PB-HMI –ed) pernah berkata bahwa bicara konsep bernegara dalam Islam merupakan distorsi. Namun itu dibantah oleh Pak Rasjidi.
Begitu juga H.M.S. Mintaredja, S.H. (mantan Ketua Umum PB-HMI, mantan Menteri Sosial, dan mantan Duta Besar Republik Indonesia di Turki –ed) yang berkata meski Islam berkaitan dengan negara, tetapi dalam hal tertentu, katanya, ada pemisahan. Argumen yang digunakannya sebuah hadits Rasulullah: “antum a’lamu bi umuuri dunyakum (Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian).” Sebenarnya hadits ii berkaitan dengan soal pertanian, soal korma. Jadi, jika dikaitkan dengan urusan negara, tidak tepat.
Jika Mintaredja mengatakan, dalam batas tertentu ada pemisahan agama dengan negara, kesimpulan saya justru kaitan antara agama dengan negara sangat erat sekali. tidak bisa dipisahkan, karena saat Islam lahir missi yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ‘aqidah, akhlaq, dan syari’ah. Nah, di dalam syari’ah itulah terdapat salah satu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bagaimana mengatur negara secara baik.
Jadi, konsep syari’ah itu luas. Saya tidak tahu, apakah sudah diperhatikan oleh Nurcholish dan Mintaredja, begitu juga oleh Pak Munawir Sjadzali (Menteri Agama 1983-1993). Dalam disertasi itu saya tidak menanggapi secara langsung karena buku Pak Munawir (Islam dan Tata Negra: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta UI Press, 1990) terbit ketika proses penulisan disertasi sudah selesai.
Apa komentar Anda terhadap buku Munawir Sjadzali itu?
Sekali lagi, dalam disertasi itu saya tidak menanggapi secara langsung buku Pak Munawir. Dalam catatan saya katakan beliau itu mengekspose aspek negatif dan aspek positif dari teori bernegara dalam Islam, tapi yang lebih banyak ditonjolkan justru hal yang bersifat negatif. Maka perlu didudukkan persoalannya.
Apa basis pemikiran Anda dalam disertasi itu?
Sejak kelahirannya, Islam adalah suatu ajaran yang dalam istilah al-Quran disebut al-Din, lengkapnya al-Din al-Islam. Ia suatu konsep yang berbeda, baik dengan religion maupun dalam konteks istilah agama yang berasal dari Hindu dan Budha. Istilah agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta.
Jika dikatakan “agama Islam”, sebenarnya yang kita maksud adalah “al-Din al-Islam”. Sedangkan religion diakui oleh para sarjana Barat, Bernard Lewis misalnya, memang sangat berbeda dengan al-Din. Antara religion dengan al-Din al-Islam, tidak sama.
Religion menurut sejarah Barat lebih ditekankan kepada hal-hal yang bersifat ritual, sehingga aspek-aspek sosial dan hukum boleh dikatakan tidak ada. Religion itu sesuai dengan salah satu ajaran yang ada dalam Injil Mathius, dalam bahasa Indonesia: “Serahkanlah apa yang menjadi kewenangan Tuhan kepada Tuhan, dan serahkan pula apa yang menjadi kewenangan Kaisar kepada Kaisar.” Inilah yang dijadikan doktrin di dalam sejarah agama di Barat.
Oleh karena itu, sejak Abad Pertengahan terjadi proses sekularisasi di Barat, sehingga tidak ada lagi apa yang disebut peran dan pengaruh agama di dalam negara. Di dalam Islam, pemisahan itu tidak ada. Dalam Islam, sejak kelahirannya, berkembangnya, sampai terbentuknya Negara Madinah; antara al-Din al-Islam dengan negara itu tidak ada pemisahan. Negara adalah salah satu sektor dari al-Din al-Islam.
Jadi, begitulah basis pemikiran saya. Ada hubungan erat antara al-Din al-Islam dengan negara.
Kalau itu tesisnya, bagaimana kongkritnya?
Ya. Itu tesis pokoknya. Yang menjadi masalah sekarang, kalau begitu, bagaimana konsep bernegara menurut Islam? Apakah seperti yang digambarkan orang bahwa konsep bernegara dalam Islam itu selalu keras, seperti gambarang orang tentang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menurut saya, tidak! Gambaran seperti itu sama sekali tidak benar. Keliru.
Konsep bernegara dalam Islam adalah nomokrasi. Saya mengembangkan teori ini dari Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun merupakan salah satu kerangka teoritis saya. Ibnu Khaldun punya satu teori yang disebutnya teori Mulk Siyasi dalam kaitan dengan penjelasannya mengenai tipologi negara.
Dalam Al-Muqaddimah, kitab Ibnu Khaldun yang terkenal itu?
Ya, betul. Ibnu Khaldun menguraikan teorinya di dalam kitab itu. Dalam teori Ibnu Khaldun dikatakan bahwa negara dibagi dalam dua kelompok. Dia mengatakan, ada yang disebut negara dengan ciri kekuasaan alamiah, istilahnya Mulk Thabi’i, ada pula negara dengan ciri kekuasaan politik, Mulk Siyasi. Nah, tipe negara yang pertama itu ditandai dengan kekuasaan yang sewenang-wenang, istilahnya kini nepotisme. Yang dipakai di situ adalah hukum rimba.
Kemudian tipe negara yang kedua dibaginya menjadi tiga macam: Pertama, diberinya istilah Siyasah Diniyah. Saya menerjemahkannya menjadi Nomokrasi Islam. Inilah kerangka teori yang saya gunakan dalam pengembangan pemikiran dalam disertasi. Kedua, negara hukum sekuler yang dalam bahasa Arab disebut Siyasah ‘Aqliyah. Yang ketiga ialah negara ala Republik-nya Plato yang oleh Ibnu Khaldun diistilahkan dengan Siyasah Madaniyah.
Di antara tiga tipe negara dalam Mulk Siyasi, yang ideal menurut saya ya Siyasah Diniyah atau Nomokrasi Islam.
Apakah itu berarti negara berdasarkan agama?
Ya. Suatu negara, yang saya katakan, syari’ahnya itulah yang menjadi dasar. Nah, kalau demikian halnya, Ibnu Khaldun itu hanya menyebut kerangkanya saja. Apa yang menjadi prinsip-prinsip Siyasah Diniyah, itu belum diketahui. Lalu saya meneliti.
Menurut hasil penelitian saya, paling tidak ada sembilan macam prinsip dari Siyasah Diniyah atau Nomokrasi Islam. Kesembilan prinsip itu saya kira sifatnya universal, di mana-mana ada. Bahkan di negara hukum Republik Indonesia, juga ada.
Apa yang baru dalam disertasi Anda?
Ya, saya menjelaskan kesembilan prinsip itu. Sembilan prinsip dalam negara hukum menurut Quran dan Sunnah Rasul. Kesembilan prinsip itulah Nomokrasi Islam.
Selain Ibnu Khaldun, ada referensi lain dari pemikir Islam masa lampau?
Saya singgung sedikit Ibnu Taimiyah. Kalau pemikir yang lain, saya kurang sreg melihatnya. Al-Mawardi, misalnya, saya melihat pemikirannya terlalu dipengaruhi oleh Dinasti Abbasiyah.
Ada satu pemikiran dari al-Mawardi yang menurut saya tidak relevan. Ia mengutip hadits al aimmatu min Quraisyin (kepemimpinan itu dari suku Quraisy). Apa betul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan ucapan seperti itu?
Jika Quraisy saja yang berhak atas kepemimpinan, berarti orang Indonesia tidak bisa menjadi pemimpin. Menurut saya, pemikiran al-Mawardi kurang relevan, sehingga saya tidak memasukkan atau menyinggungnya.
Hanya Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah yang Anda rujuk?
Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah secara ringkas, yang lainnya ialah teori al-Istishlah dari Imam Malik. Jadi, dua teori itulah yang menjadi kerangka pemikiran saya. Yakni bagaimana penerapan dari prinsip-prinsip Nomokrasi Islam dikaitkan dengan teori al-Istishlah-nya Imam Malik.
Di antara prinsip yang sembilan itu misalnya kekuasaan itu adalah amanah. Kekuasaan yang ada di tangan manusia itu sifatnya temporer. Kekuasaan, ilmu, kekayaan, anak, semua itu titipan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Karena kekuasaan itu titipan Ilahi, pertanyaannya: siapakah penguasa yang hakiki? Barangkali ini suatu postulat. Penguasa yang hakiki adalah Allah subhanahu wa ta’ala yang kekuasaan-Nya maha luas dengan segala isinya.
Kita tidak bagaimana luasnya langit. Maka, kekuasaan subhanahu wa ta’ala Allah itu tidak bisa kita ukur.
Dari sanalah ada delegation of power, pelimpahan kekuasaan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia. Orang yang menerima kekuasaan itu adalah orang yang menerima amanah. Artinya, kekuasaan yang dia terima itu harus dia jalankan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk amar ma’ruf nahyi munkar. Tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan. Ini prinsip kekuasaan sebagai amanah, suatu delegation of power dari Allah subhanahu wa ta’ala, rabbul ‘alamin.
Mirip dengan teori Abul ‘Ala al-Maududi?
Mungkin di sini ada kemiripan pemikirn saya denfan al-Maududi. Hanya saja saya tidak sependapat dengan Maududi yang menggunakan istilah teodemokrasi. Menurut saya, Islam itu bukan satu negara teokrasi.
Jadi, menurut saya, istilah yang lebih tepat itu nomokrasi. Sebab apa? Karena nomokrasi itu didasarkan kepada hukum. Yang kongkrit adalah hukum. Kalau dikatakan ‘teodemokrasi”, walaupun didasarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dalam kenyataannya Allah subhanahu wa ta’ala itu Zat Yang Unik, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Yang kongkrit itu hukum, yang kongkrit itu syari’ah.
Istilah nomokrasi itu khas dari Anda atau akomodasi dari istilah lain?
Sebenarnya istilah itu sudah digunakan oleh orang lain. Prof. Dr. H.M. Rasjidi juga menggunakan istilah itu. Yang lain juga, seperti M. Carr –guru besar yang baru-baru ini ditembak di Beirut, Libanon—menggunakan istilah nomocrazy. Bahkan Carr menggunakan istilah Islamic Nomocrazy. 
Yang saya tekankan adalah nomorasi. Oleh karena itu teodemokrasi, yang diperkenalkan oleh Maududi, menurut saya tidak tepat.
Anda percaya konsep Negara Islam terdapat dalam al-Quran?
Kalau disebut Negara Islam, orang alergi. Saya menyebutnya konsep bernegara di dalam Islam, atau konsep negara dalam ajaran Islam.
Mungkin karena pengalaman traumatik di masa lalu?
Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti atau dikuatirkan dari Negara Islam. Sebab, gambaran mengenai konsep negara dalam Islam itu menurut kajian saya itu positif. Sangat positif.
Bisa lebih dijelaskan?
Itu tadi. Kita teruskan sembilan prinsip tadi. Pertama, prinsip kekuasaan sebagai amanah. Kedua, prinsip musyawarah. Ketiga, prinsip keadilan. Keempat, prinsip persamaan. Kelima, prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Keenam, prinsip peradilan bebas. Ketujuh, prinsip perdamaian. Kedelapan, prinsip kesejahteraan. Kesembilan, prinsip ketaatan rakyat. Nah, sembilan prinsip itu sifatnya universal.
Jika kita kaji negara-negara Barat, prinsip-prinsip itu ada di negara mereka, tetapi karakteristiknya berbeda, wataknya berbeda. Karena apa? Karena di Barat itu sifatnya sekuler. Semata-mata berdasarkan rasio manusia. Sembilan prinsip yang saya kemukakan dalam disertasi itu sumbernya dari wahyu, dan al-Quran. Misalnya prinsip musyawarah, itu perintah Quran: “wa syaawirhum bi al amri wa amruhum syuuraa bainahum –dan semua urusan kemasyarakatan, hendaklah mereka musyawaeahkan.”
Dengan prinsip ini, tiak boleh seorang pemimpin, kepala pemerintahan, atau kepala negara mengambil keputusan atas dasar kehendaknya sendiri. Praktik musyawarah itu sudah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada maa Negara Madinah.
Apakah seluruh rakyat dikumpulkan dan dipungut suaranya secara langsung, atau melalui sisten perwakilan, itu soal cara. Islam tidak mengatur sedetail itu. Yang jelas, Quran meletakkan prinsip-prinsip itu.
Nah, implementasi dari prinsip-prinsip ini hendaklah disesuaikan dengan istishlah, teori dari Imam Malik, untuk kemaslahatan masyarakat. Jadi, tidak boleh impelementasinya menurut selera seseorang.
Apa kelemahan ide Negara Islam di masa lalu?
Menurut saya, barangkali waktu itu belum sampai pada penjabaran yang lebih rinci mengenai argumentasi dari konsep itu.
Belum terelaborasi?
Ya. Jadi, kelihatannya waktu itu lebih difokuskan kepada nama. Bagaimana isinya, barangkali yang pada waktu itu belum dibentangkan atau dijelaskan, karena mungkin situasi saat itu tidak memungkinkan. Misalnya diyakinkan bahwa konsep bernegara dalam Islam itu sangat positif. Tidak ada yang merugikan kepentingan masyarakat, misalnya bagaimana Islam memperlakukan golongan minoritas, bagaimana memperlakukan kaum Yahudi di Madinah, itu sangat jelas.
Laa ikraaha fi al din, tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama, itu termasuk dalam prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Ada kebebasan untuk memilih dan melaksanakan agama. Negara tidak boleh memaksa.
Apa dulu ada indikasi bakal ada pemaksaan jika terbentuk Negara Islam?
Bukan. Barangkali ada semacam kekuatiran. Sebenarnya itu, menurut saya kesalahan pemahaman dari golongan lain saja. Padahal di dalam Islam, golongan minoritas itu wajib dilindungi. Istilah bagi mereka itu adalah kafir dzimmi, minoritas yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam, dengan kewajiban membayar pajak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Siapa yang mengganggu kafir dzimmi, berhadapan denganku.” Jadi, eksistensi mereka dijamin. Semua peribadatan mereka dijamin. Bahkan saat itu, bagi kaum Yahudi diberlakukan hukum Taurat, bukan syari’at Islam.
Dalam konteks Negara Madinah, seperti itu. Kewajiban kepala negara pada waktu itu harus memperhatikan hukum yang berlaku untuk kaum Yahudi.
Bagaimana dengan pemikir politik Islam di awal kemerdekaan?
Dari segi itu kita harus menaruh hormat antara lain kepada Pak Mohammad Natsir. Saya kira beliau sudah memikirkan masalah itu. Kondisi waktu itu mungkin titik tolaknya yang dilihat hanyalah umat Islam sebagai kelompok besar yang ada di negara Republik Indonesia. Waktu itu ada rumusan Piagam Jakarta: “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kembali ke disertasi saya, kalai kita berbicara mengenai konsep bernegara dalam Islam, saya tidak melihat ada sesuatu yang negatif. Saya sebutkan tadi, sembilan prinsip bernegara itu berlaku di mana-mana.
Bagaimana Anda melihat IAIN?
Kalau saya perhatikan, tentu tidak semua cenderung berpikir rasional murni ala Barat. Prof. Peunoh Dali, Dr. Aqib Suminto, dan Dr. Satria Effendi misalnya, cara berpikirnya rasional-transendental. Hanya pesan saya kepada generasi muda, belajarlah dalam disiplin ilmu masing-masing.
Kalau Saudara mempelajari Islam secara tradisional, itu perlu juga. Tetapi, pelajari juga agama Islam dari sudut filsafatnya. Seperti ditulis oleh Prof. Rasjidi dalam salh satu bukunya, apakah dalam dunia moderen ini Islam masih diperlukan, atau apakah semua agama sama? Itu salah satu problem kita.
Dengan mempelajari Islam dari sudut filsafatnya, kita tidak akan jemu, dan ada pengembangan pemikiran. Saya mengajarkan kepada para mahasiswa, seperti itu.[]