Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

29 Januari 2012

KACAUNYA BUKU SEJARAH INDONESIA

Membaca buku SEJARAH INDONESIA jilid 7 dan 8 karya Eko Praptanto (Bina Sumber Daya MIPA, Jakarta, 2010) yang telah dinilai oleh Pusat Perbukuan Kemdiknas dan telah ditetapkan memenuhi kelayakan berdasarkan Keputusan Pusat Perbukuan No: 903/A8.2/LL/2010 tertanggal 21 Mei 2010 tentang "Penetapan Buku Pengayaan Pengetahuan, Buku Pengayaan Keterampilan, Buku Pengayaan Kepribadian, Buku Referensi, dan Buku Panduan Pendidikan sebagai Buku Nonteks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan sebagai Sumber Belajar pada Pendidikan Dasar dan Menengah;" saya sungguh-sungguh terkejut dan kecewa.

Di jilid 7, ketika membicarakan "Pertempuran Surabaya" (halaman 13-16) buku itu sama sekali tidak menyinggung peran dan ketokohan Bung Tomo yang pidato-pidatonya membakar semangat juang arek-arek Suroboyo. Jika Bung Tomo yang namanya melekat pada perang 10 November 1945 sama sekali tidak disebut, apalagi Hadratus Syaikh M. Hasjim Asj'ari yang membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo dengan Resolusi Jihad yang terkenal itu. Saya kuatir, penulis buku ini sama sekali tidak tahu ada tokoh dan Pahlawan Nasional bernama K.H.M. Hasjim Asj'ari.

Masih di jilid 7, ketika membahas "Agresi Militer Belanda II" (halaman 40-41), buku ini sama sekali tidak menyinggung Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang selama 207 hari melanjutkan eksistensi negara Republik Indonesia. Penulis buku ini tampaknya tidak tahu bahwa Jenderal Soedirman adalah Panglima Angkatan Perang PDRI yang tunduk dan patuh kepada Presiden Prawiranegara.

Tidak mengakui eksistensi PDRI sama dengan mengakui bahwa negara Republik Indonesia pernah hilang dari muka bumi selama 207 hari.

Buku jilid 7 ini pun menihilkan peran dan ketokohan Mr. Kasman Singodimedjo yang di awal kemerdekaan untuk pertama kalinya menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP --parlemen sementara RI). Buku ini juga tidak menyebut peran dan kepemimpinan Kasman dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Mengenai Kasman Singodimedjo ini, mantan Menko Hankam/Kasab, Jenderal TNI A.H. Nasution mencatat bahwa di hari-hari pertama Proklamasi Kemerdekaan, hanya komando dari trio Soekarno-Hatta-Kasman yang dipatuhi oleh rakyat. Bagaimana bisa terjadi, tokoh sebesar Kasman dengan peran yang signifikan di hari-hari awal proklamasi luput dari tinjauan penulis sejarah?

Di jilid 8, ketika membicarakan kembalinya Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), lagi-lagi buku ini alpa untuk mengurai latar belakang dan proses yang mendahului kembalinya RIS ke NKRI.

Yang wajib dicatat dalam proses kembali ke NKRI itu adalah Mosi Integral Natsir yang disampaikan di Parlemen RIS pada 3 April 1950. Dengan pendekatan yang jernih dan cerdas, Natsir berhasil memperoleh dukungan untuk Mosi Integral-nya itu dari tokoh-tokoh politik yang paling kiri sampai yang paling kanan. Dengan konsep yang dittuangkan dalam Mosi Integral, NKRI berhasil dipulihkan tanpa setetes darah pun yang tumpah, dan tanpa seorang pun kehilangan muka. Atas keberhasilannya memulihkan NKRI, tanpa ragu sedikit pun Presiden Soekarno menunjuk M. Natsir menjadi Perdana Menteri NKRI, bahkan ketika Natsir hendak mengembalikan mandat kepada Presiden karena gagal mengajak PNI bergabung, Bung Karno menolak. Dia dorong Natsir untuk tetap membentuk kabinet, walaupun tanpa dukungan PNI (partai yang dibentuk pada 1927, diipimpin, dibesarkan oleh, bahkan identik dengan Bung Karno). Bagi Bung Karno, "Natsir memiliki konsepsi."

Sangat aneh, peristiwa sepenting Mosi Integral Natsir yang memperlancar proses menuju pemulihan NKRI tidak dicatat sama sekali oleh buku Sejarah Indonesia.

Sejarah memang bukan sekadar catatan tentang nama dan peristiwa, akan tetapi jika nama dan peristiwa penting yang berkaitan lansung dengan eksistensi negara ini dinihilkan, apa lagi yang mau kita katakan selain bahwa penulisan buku sejarah kita memang masih sangat kacau. Tragisnya, buku yang kita bicarakan ini sudah ditetapkan oleh Pusat Perbukuan Kemdiknas "memenuhi kelayakan."