Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

02 April 2011

PDRI, Inisiatif Lokal dan Kita Yang Gagap

Sabtu, 02 April 2011 02:32

Agresi militer Belanda ke Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang nyaris mengakhiri riwayat Republik Indonesia—karena praktis telah menyebabkan pemerintahan tidak lagi berfungsi—dan pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat (dulu termasuk provinsi Sumatera Tengah) adalah dua peristiwa yang unik dalam sejarah Republik Indonesia.

Sungguh pengalaman sangat pahit dan memalukan, ibukota dan para pemimpin sebuah negara jatuh dan ditawan pada hari pertama serangan tentara Belanda.

Akan tetapi, dalam situasi tegang dan mencekam, para pemimpin Republik tidak kehilangan akal sehat dan masih mampu berpikir jernih.

Rapat kilat kabinet memu­tuskan untuk mengirim kawat kepada Mr. Sjafruddin Pra­wiranegara yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Bukittinggi. Kawat tersebut berisi mandat untuk mem­bentuk Pemerintahan Republik Da­rurat di Sumatera. Kepada Soe­darsono, LN. Palar, dan AA. Maramis di New Delhi, India, dikirim juga kawat agar jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera gagal, ketiganya membentuk Exile Government Republic of Indonesia di India.

Sejarah mencatat, kawat yang dikirim dari Yogyakarta itu tidak pernah sampai ke tangan Sjafruddin.

Inisiatif Lokal

Tanpa mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepadanya, pada sore hari tanggal 19 Desember 1948, bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. T.M. Hasan, Sjafruddin dan Hasan bersepakat membentuk Peme­rintah Darurat Republik In­donesia (PDRI–perhatikan pe­namaan yang berbeda dengan yang tertulis dalam kawat Pre­siden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta) yang pada 22 Desember 1948 diumumkan di Halaban, sebuah desa di daerah Payakumbuh.

Dibanding dengan duet Soekarno-Hatta, duet Sjafrud­din-Hasan jelas bukan siapa-siapa. Di Sumatera Tengah ketika itu, meskipun Sjafruddin adalah Menteri Kemakmuran, hanya sedikit orang tahu siapa Sjafruddin. Di Jawa pun pastil­ah cuma sedikit orang yang mengetahui siapa Teuku Mo­ham­mad Hasan.

Akan tetapi, ketika perjua­ngan nasional dalam krisis, masyarakat ternyata tidak pernah tertarik untuk mem­pertanyakan siapa Sjafruddin atau siapa Teuku Hasan. Masya­rakat lebih tertarik untuk melihat apa yang mereka per­buat untuk menjaga tetap tegaknya kemerdekaan Re­publik Indonesia.

Dua peristiwa di sekitar terbentuknya PDRI menun­juk­kan betapa sesungguhnya ini­siatif-inisitaif lokal itulah yang sebagai totalitas memiliki nilai limpah untuk kepentingan nasional. Prakarsa membentuk PDRI, menunjukkan betapa pentingnya inisiatif lokal bagi perjuangan nasional.

Kearifan PDRI

Sikap keras PDRI terhadap proses Persetujuan Roem-Roijen, 7 Mei 1949, yang meninggalkan PDRI dan mua­tan Persetujuan yang dipandang kurang mencerminkan keadaan Republik yang sesungguhnya, menunjukkan betapa di tengah situasi kritis yang memerlukan kesatupaduan segenap kom­ponen bangsa, para pemimpin kita di masa lalu masih tetap bisa memperdebatkan masalah bangsa dan negara secara jujur dan jernih.

Jika bukan dikhianati, PDRI merasa telah ditinggal­kan oleh Soekarno-Hatta. Itu sebabnya, sangat kuat suara di kalangan PDRI yang menen­tang Persetujuan Roem-Roijen. Akan tetapi, lagi-lagi sejarah menunjukkan, di saat-saat kritis, yang muncul adalah keber­samaan. Bukan ego ma­sing-masing kelompok.

Sjafruddin dan PDRI seba­gai pemegang mandat kekua­saan Republik yang ditinggalkan oleh para pemimpinnya, ternya­ta memilih bersikap arif. Da­lam sikap akhirnya terhadap Persetujuan Roem-Roijen, di depan Soekarno-Hatta, Sjafrud­din mengatakan: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang ‘pernyataan Roem-van Roijen’, tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”

Kita tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi jika di masa krisis itu Sjafruddin bersikeras menolak Persetujuan Roem-Roijen dan menolak menyerahkan kembali mandat (yang secara fisik tidak pernah diterimanya) kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Hanya Mengisi Kekosongan?

Bangsa ini ternyata gagap menerima kenyataan PDRI yang heroik dan berhasil mem­pertahankan eksistensi Repub­lik Indonesia sejak tanggal pembentukannya 19 Desember 1948 sampai pengembalian mandat kekuasaan kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta pada tanggal 13 Juli 1949.

Mengutip pendapat pakar sejarah terkemuka, Prof. Dr. Taufik Abdullah, pemegang kekuasaan mempunyai kepen­tingan dengan bagaimana sejarah ditulis. Sejalan dengan itu pemegang kekuasan pun mem­punyai kecenderungan pula untuk melupakan berbagai hal. Ketika kedua kecenderungan itu terjadi maka kita pun tahu bahwa sejarah, yaitu rekons­truksi tentang peristiwa di masa lalu, telah dianggap sebagai wacana untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu.

Untuk dan atas nama ke­pen­tingan kekuasaan, PDRI dan para aktor utamanya selama berpuluh tahun telah diusa­hakan dengan keras untuk dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa. Alhamdulillah, mes­kipun berbagai cara dilakukan untuk menenggelamkan PDRI dari permukaan sejarah, tetapi PDRI tetap hidup dalam pikiran mereka yang mau dan berani bersikap jujur terhadap sejarah.

Empat puluh sembilan tahun sejak mandat PDRI dikembalikan, atau lima puluh tahun sejak didirikan, peranan PDRI dan tokoh-tokohnya dianggap tidak ada. Baru di masa Presiden BJ. Habibie, mantan Ketua PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara diberi penghargaan Bintang Republik Adipradhana, dan baru para tahun 2006 hari lahir PDRI 19 Desember dinyatakan sebagai Hari Bela Negara.

Entah karena tidak menge­nali sejarah perjuangan bangsa dengan baik, pertimbangan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara ternyata hanya memo­sisikan PDRI sekadar untuk “… mengisi kekosongan kepe­mimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka bela Negara,” padahal pembentukan dan keberadaan PDRI lebih dari sekadar mengisi kekosongan pemerintahan yang semata-mata bersifat administratif sebagaimana jika Presiden ke luar negeri.

PDRI lahir untuk menyam­bung eksistensi Negara Repub­lik Indonesia yang sejak 19 Desember 1948 oleh peme­rintah kolonial Belanda diang­gap telah lenyap dari peta bumi, karena ibukota Yogyakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpinnya telah mere­ka tawan dan dibuang jauh dari Yogyakarta ke pulau Sumatera.

Peran PDRI

Sepuluh tahun silam, di Bukittinggi, Prof. Dr. Emil Salim dan Maludin Simbolon memberi kesaksian. Menurut Emil Salim, “Hadirnya PDRI telah mengukuhkan eksistensi Republik Indonesia sehingga memperkuat perjuangan diplo­masi delegasi RI di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

PDRI, menurut Simbolon, adalah pemerintah yang efektif. “Jadi,” kata Simbolon, “kenapa PDRI yang efektif itu diabai­kan, di-ignored?” Memosisikan PDRI hanya sekadar sebagai pengisi kekosongan kepemim­pinan pemerintahan, yang bersifat administratif, jelas telah mereduksi peran dan fungsi PDRI yang sebenarnya, yaitu sebagai pemerintahan yang telah menyelamatkan Republik dari kemungkinan terhapus dari peta sejarah.

Dengan Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Belanda mengira dengan demikian posisi legal perwakilan RI di PBB dapat dipertanyakan. Akan tetapi, belum sempat hal itu terjadi, PDRI telah memberi kuasa kepada delegasi RI untuk me­neruskan perjuangan, dan dengan demikian posisi delegasi RI di PBB tidak dapat digang­gu-gugat.

PDRI telah meneguhkan posisi wakil Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Jika kita jujur di dalam membaca sejarah, maka peran PDRI, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardja­soemantri, dapat dilihat dari tiga aspek: (1) memberi legi­timasi bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang pemerintah pusatnya tetap tegar berdiri walau secara darurat dengan kekuatan tentara yang aktif bergerilya dan didukung oleh rakyat umum, sungguh pun Presiden dan Wakil Presidennya serta pemimpin-pemimpin penting lainnya ditangkap oleh Belanda, (2) menjadi pusat komunikasi Republik Indone­sia dengan luar negeri, sehingga dunia tetap mengetahui per­juangan rakyat Indonesia, dan (3) menjadi sumber inspirasi bagi kelanjutan perang gerilya yang sepenuhnya didukung oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, dan pemimpin-pemimpin lainnya.

Nilai Limpah

Maka, di sinilah pentingnya pelaksanaan seminar nasional bertema: “Makna PDRI dalam Mempertahankan Kemer­deka­an Republik Indonesia” di Istana Bung Hatta, Bukittinggi, Ahad 3 April yang diseleng­garakan oleh Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) bekerja sama dengan Yayasan Peduli Per­juangan PDRI 1948-1949.

Paling sedikit ada empat nilai limpah strategis dari kegiatan ini: Pertama, menye­garkan kembali ingatan masya­rakat terhadap peristiwa heroik dan strategis yang terjadi lebih enam dasawarsa yang lalu di daerah Sumatera Tengah (kini meliputi Provinsi-provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau), dan Aceh. Kedua, menggali dan menegaskan pentingnya nilai-nilai lokal dan partisipasi masyarakat bagi perjuangan nasional. Ketiga, mengingatkan komponen bangsa agar dalam situasi apapun tidak kehilangan akal sehat dan sikap kritis, dan keempat, memahami makna PDRI yang sesungguhnya dalam perjuangan memper­tahankan kemerdekaan Repub­lik Indonesia. Mudah-mudahan kita tidak gagap lagi membaca sejarah.

LUKMAN HAKIEM

Sekretaris Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)