Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

13 Januari 2017

Dr. Johannes Leimena Patriot dan Diplomat

Dr. Johannes Leimena
Patriot dan Diplomat
Oleh: M. Natsir

Pengantar: Dari Ibu Asma Faridah Natsir, salah seorang putri mantan Ketua Umum Partai Islam Masyumi, mantan Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir (1908-1993), saya memperoleh foto copy tulisan M. Natsir yang dimuat pada buku biografi Dr. Johannes Leimena. Copy tulisan itu dikirim oleh A. Djauhar Leimena, atas nama Keluarga Besar Dr. Johannes Leimena kepada Keluarga Besar M. Natsir melalui Asma Faridah Natsir. Dalam surat pengantar tertanggal 23 Januari 2011, A. Djauhar Leimena antara lain menulis: “Suatu phenomena di zaman itu, terlepas dari aliran politik dan perbedaan agama, orang tua kita sangat menghormati keberadaan satu sama lain, serta tetap menjaga persahabatan dan tali silaturrahmi. Hal ini sudah jarang didapati di era sekarang ini.” Semoga bermanfaat.
*****

            DI KALANGAN rekan-rekan dan anggota-anggota staf, ia biasa disebut dengan “Oom Yo.” Ia senang dengan nama gelaran yang mengandung rasa keakraban itu.
            Memang sudah merupakan salah satu sifat dari Saudara Leimena, bahwa, bila mula-mula berjumpa, orang merasakan seolah sudah lama berkenalan dengannya.
            Dia lihat kita dengan mata terbuka membundar, wajahnya yang tersenyum, dan dengan kerenyut bibirnya yang membayangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan kata ringkas: Leimena mempunyai kepribadian yang menarik.
            Kami pertama kali bertemu di Pegangsaan Timur 56, Gedung Proklamasi, di waktu itu sibuk mengurus perawatan pejuang-pejuang kemerdekaan kita yang luka-luka dalam pertempuran di sekitar Tangerang, di mana Dr. Leimena menjadi Direktur Rumah Sakit Tangerang.
            Hubungan kami yang lebih erat ialah di waktu sama-sama duduk dalam Kabinet Sjahrir, silih berganti, Kabinet Hatta, dan Kabinet Kesatuan yang pertama.
Resminya, Dr. Leimena menjabat Kementerian Kesehatan. Tetapi sebagian besar pemikiran dan tenaganya tertumpah kepada partisipasi dalam mengatasi persoalan-persoalan politik dan diplomasi yang timbul silih berganti dalam masa revolusi fisik dan sesudahnya.
Orang tadinya tidak menyangka bahwa seorang abiturient dari sekolah dokter Stovia, antara lain memimpin rumah sakit tingkat kabupaten, mempunyai bakat sebagai seorang diplomat yang diakui kemahirannya.
Baru saja Dr. Leimena masuk kabinet, bakat berundingnya sudah terlihat dalam perundingan-perundingan mengenai penyerahan tawanan perang kepada Komandan Tentara Sekutu.
Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang militer kedua belah pihak di mana ia dapat mendalami cara-cara berfikir mereka dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam perundingan-perundingan seterusnya dengan pihak Belanda, dari perundingan Linggajati (1946-1947) sampai ke Konferensi Meja Bundar (1949), Dr. Leimena memberikan tenaganya dengan aktif juga di bidang yang mengenai ketentaraan.
Ia bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan perundingan dengan tenang dan konsentrasi. Tapi satu kali ia bicara, orang merasakan bahwa ia benar-benar menguasai persoalan yang dibicarakan, dan bahwa ia benar-benar sudah “mengerjakan PR-nya”.
Ia rajin membaca, dengan kemampuannya untuk mencernakan apa yang dibacanya yang besar sekali. Bila orang masuk ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, orang segera tertarik oleh lemari bukunya yang besar penuh dengan buku-buku. Bukan saja buku-buku medis, tapi buku-buku di bidang sejarah, filsafat, politik, bermacam-macam. Ada Goethe, ada Max Weber, ada Arnold Toynbee, ada yang lain-lain.
Pihak Belanda pernah memberinya julukan Meneer de Dominee, lantaran cara-caranya yang lemah lembut. Sekalipun demikian, bila datang saatnya kelemahlembutannya itu tidak menghalanginya untuk menyatakan kepada lawan perundingan, pendirian delegasi Indonesia yang tegas-tegas.
Saya masih ingat sewaktu, semasa Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat di Jenewa, Dr. Leimena duduk dalam delegasi di bawah pimpinan Anak Agung Gde Agung.
Setelah beberapa waktu perundingan bertele-tele, anggota Leimena berkata dengan caranya yang khas itu, lebih kurang:
“.... Tuan-tuan. Pemerintah Indonesia yang sekarang itu dan kami-kami ini termasuk orang-orang yang boleh dinamakan moderat. Tapi, kalau Tuan-tuan biarkan kami pulang dengan tangan kosong, maka Tuan-tuan pasti berhadapan dengan orang Indonesia yang lebih ekstrim!”
Dan kalau Meneer de Dominer sudah berkata secara tough itu, lawan perundingan tahu: “Sudah pukul berapa hari sekarang.”
Dan memang apa yang diperingatkannya itu terjadi. Semenjak delegasi pulang dengan tangan kosong, Belanda berhadapan dengan Presiden Sukarno yang sudah dikelilingi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ada juga satu peristiwa yang agak lucu di waktu itu.
Sebagai salah satu konsekwensi dari gagalnya perundingan mengenai soal Irian itu, Pemerintah dan DPR mempersiapkan undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda, sesuai dengan idam-idaman Bung Karno semenjak zaman Kabinet Natsir di tahun 1950, waktu perundingan mengenai soal Irian itu gagal untuk pertama kalinya. Malah waktu itu beliau ingin membatalkannya melalui pidato beliau sendiri dari Istana Merdeka. Ini tidak pernah terjadi.
Tapi di waktu Kabinet Burhanuddin Harahap mempersiapkan undang-undang pembatalan Unie itu, Presiden Sukarno tidak bersedia menandatanganinya.
Kemudian sesudah pemilihan umum pertama, Kabinet Ali Sastroamidjojo mempersiapkan lagi undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda yang baru, dengan teks yang serupa, barulah Presiden bersedia menandatanganinya.
Umum menafsirkan bahwa beliau tidak ingin memberi “Kehormatan” pembatalan Unie itu kepada kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, yang biasa dinamakan Kabinet Masyumi itu, sesuai dengan nama partai Perdana Menterinya.
Sementara itu krisis antara Indonesia dengan Belanda meningkat dari bulan ke bulan. Semua kekayaan Belanda disita.
Rusia membantu Indonesia dengan kapal-kapal perangnya yang sudah tua. Terjadilah konfrontasi fisik (kalau belum dinamakan perang total), di daerah Irian dan sekitarnya di mana Yos Sudarso tewas.
Krisis ini telah dapat diakhiri dengan jalan diplomasi, setelahnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) campur tangan. Duta Besar Indonesia di Rusia, Adam Malik, dan Wakil Tetap Indonesia di PBB, Sudjarwo,S.H., banyak berjasa dalam usaha penyelesaian soal Irian ini.
Semasa Kabinet Hatta (Kabinet Negara Republik Indonesia Serikat), terjadi pemberontakan di Ambon dengan diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumukil cs. Untuk mencari penyelesaian secara damai, Pemerintah Hatta membentuk satu missi di bawah pimpinan Dr. Leimena, dan terkenal dengan nama Missi Leimena.
Soumokil cs tidak bersedia menerima Missi Leimena.
Setelah segala usaha untuk mencari penyelesaian secara damai, gagal, sedangkan laporan-laporan yang sampai ke Pemerintah Pusat meyakinkan bahwa gerakan RMS itu sama sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk Ambon, malah rakyat Ambon menderita penteroran dari serdadu-serdadu RMS, maka Kabinet Negara Kesatuan yang baru saja dibentuk terpaksa mengambil tindakan militer berupa pengiriman pasukan TNI ke pulau Ambon untuk memulihkan keamanan dan kesatuan negara, pada tanggal 28 September 1950.
Beberapa hari sesudah operasi militer yang cukup singkat, berhasil, pergilah kami berdua ke Ambon dengan kapal terbang tua merk Douglas yang berbangku panjang itu melalui Makassar dan Namlea di pulau Buru.
Sekalipun kehidupan sehari-hari belum dapat dikatakan normal, tapi seluruh pulau Ambon sudah dapat dikuasai. Kami ucapkan selamat kepada komandan-komandan pertempuran dan prajurit-prajurit atas berhasilnya operasi. Kami berziarah ke kuburan Kolonel Slamet Riyadi yang tewas dalam pertempuran di Tahitu, dan adakan pertemuan dengan pemuka-pemuka rakyat Ambon.
Dr. Leimena adalah pemimpin yang tumbuh dari masyarakat dan berurat di dalamnya. Dia juga seorang dokter yang tahu apa artinya diagnose dan apa therapie. Ia dapat cepat merasakan dengan peka, bahwa sesuatu peristiwa berupa tantangan kepada orde yang sedang berlaku, baik yang sudah berupa tantangan fisik seperti yang terjadi di Ambon itu, ataupun yang masih merupakan protes-protes, dan pernyataan yang seringkali menjengkelkan fihak yang sedang berkuasa, semua itu bersumber dari suatu proses psychologis yang sekarang ini –dengan bahasa lunak—sering dinamakan “keresahan” batin, apapun yang menyebabkan keresahan itu.
Jadi, tidak selesai dengan menindak mereka yang “menyeleweng” atau yang resah itu secara fisik dan juridis semata-mata. Kita tidak boleh semata-mata melayani gejala-gejala, dengan symptomatic approach, kata orang sekarang. Tapi kita harus langsung melayani apa-apa yang menjadi sebab –dengan causal approach.
Oleh karena itu, Dr. Leimena setelah ia mengkaji persoalannya, memerlukan membuat suatu analisa dari peristiwa RMS itu disertai dengan satu Seruan dari hati ke hati, diterbitkan berbentuk brosur berjudul: Soal Ambon – Satu Seruan.
Brosur tersebut ditulisnya sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dari Dewan Gereja Sedunia kepadanya pribadi yang tadinya kuatir, bahwa tindakan militer terhadap RMS di pulau Ambon menyebabkan antara lain gereja Kristen tidak dapat menjalankan pekerjaannya.
Ia berbicara sebagai patriot dan pemimpin umat Kristen.
Dalam kata-kata pengantarnya diterangkan antara lain:
“.... Oleh karena,  menurut hemat saya, Maluku dan kaum Kristen Maluku pada waktu sekarang ini ada dalam ‘krisis rohani’ (geestelijke crisis) saya merasa wajib sebagai seorang Indonesia yang berasal dari Maluku dan sebagai anggota Gereja Kristen Indonesia, menunjukkan jalan yang kiranya harus ditempuh oleh kaum Kristen maluku, dan di kemudian hari.”
Dengan nada khas Leimene de Dominee, ia katakan:
“Mudah-mudahan suara ini tidaklah laksana suara seorang penyeru di padang pasir. Barangsiapa yang mempunya mata, hendaklah ia melihat. Barangsiapa yang mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar. Supaya ia mengerti akan tanda-tanda sejarah yang baru di Indonesia ini....”
Disampaikannya seruannya dengan kata-kata yang terang dan clear cut: “Soal yang terpenting bagi orang Kristen yang berasal dari Maluku (Ambon) ialah memeluk agama Kristen dan juga menjadi seorang warga negara Indonesia. Soal ini harus dipecahkan juga oleh Gereja di Maluku. Sampai pada waktu sekarang Gereja ini bersikap agak ragu-ragu. Sebagian dari kaum Kristen Ambon di Maluku dan di luar Maluku paham dan sadar akan jalannya sejarah Indonesia. Mereka sebenarnya belum dapat melihat ke muka, tapi masih menengok kepada masa yang lampau, seakan-akan mereka masih hankerring after the fleshpots of Egypt.
“Pada hemat saya adalah satu kesalahan besar jika kaum Kristen di Indonesia memisahkan dirinya daripada masyarakat Indonesia, seperti sekarang terjadi di Ambon. Menurut paham saya, justru oleh karena orang Krsiten Maluku harus hidup dan bekerja sebagai orang Kristen, haruslah ia juga seorang warga negara Indonesia sejati. Pada saat ini, ketika sejarah memberikan kesempatan kepada kaum Kristen turut serta menyempurnakan penyelenggaraan ‘one nation building’ dan ‘one state building’, kaum Kristen tidak boleh mungkir dalam pekerjaan yang penting ini. Hal ini penting juga bagi kehidupan Gereja pada waktu sekarang dan di hari kemudian.”
Cukup tajam kalimat-kalimat itu. Tapi bila keluar dari mulut Leimena, orang bisa menerimanya dan merenungkannya.
Demikian sekadar kutipan dari therapie yang diberikan Dokter Leimena untuk menyembuhkan apa yang dinamakan “krisis rohani” segera sesudah pulihnya keterlibatan fisik di Ambon bulan Oktober 1950, yang besar sekali manfaatnya dalam pemulihan ketertiban lahir dan batin di daerah yang baru kena bencana itu.
Dalam tahun 1950-an, Dr. Leimena memperlihatkan segi pribadinya sebagai pemimpin umatnya, dengan tulisannya yang terkenal berjudul: “Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab”. Sifatnya educatif dan mudah difahamkan. Sampai sekarang tulisannya tersebut menjadi pegangan bagi para pengikut yang mencintainya.
Ditekankannya dalam kata-kata penutupnya agar umat Kristen, sekalipun jumlahnya minoritas, jangan merasa bahwa mereka warga negara kelas 2 atau kelas 3. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
Ringkasannya, Dr. Leimena ingin membanteras inferiority complex (merasa rendah diri) sekalipun umatnya minoritas dalam arti jumlah.
Memang, inferiority complex atau yang sebaliknya yang disebut over compensation, merasakan diri serba-ulung, penutup-nutup kelemahan diri yang sebenarnya, bukanlah adviseur yang baik bagi pribadi atau golongan warga negara yang manapun, yang minoritas ataupun yang mayoritas dari segi jumlah.
Dapat dikatakan bahwa di zaman itu dua partai Kristen, baik Partai Protestan (Partai Kristen Indonesia) ataupun Partai Katolik, sekalipun ke luar dari pemilihan umum sebagai partai-partai kecil, tetap memainkan peranan yang penting.
Dalam praktiknya, siapapun yang memimpin kabinet, kedua partai itu ikut serta, sebagai tradisi yang baik. Partai-partai yang besar ataupun kecil duduk bersama dalam kabinet untuk menjalankan suatu program yang sama-sama sudah disetujui. Masing-masing memandang Indonesia sebagai tanah airnya, dan sama-sama mempunyai kesempatan untuk berkhidmat kepada tanah air. Cinta tanah air tidak dimonopoli oleh pemimpin-pemimpin partai besar atau kecil.
Begitu cara-cara di waktu itu.....
Dan Leimena adalah seorang pemimpin yang memberi contoh sebagai seorang patriot Indonesia terlepas dari perbedaan agama. Ia menghormati pendapat orang lain, di samping kesetiaannya kepada pendapatnya sendiri, dan dalam segala keadaan dapat memelihara kejujuran.

Begitu pribadi Leimena sebagai Pemimpin dan Patriot.[]       

12 Januari 2017

Presiden Darurat Sjafruddin Prawiranegara
(19 Desember 1948-13 Juli 1949)
Oleh: Lukman Hakiem

PADA 18 Desember 1948, pukul 23.30, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Keesokan harinya, 19 Desember 1948, pukul 06.00 ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diserang dan diduduki oleh tentara Belanda. Tiga hari kemudian, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Prapat di Sumatera Utara, dan ke Muntok di Pulau Bangka.
Dalam sidang kabinet beberapa saat sesudah Yogyakarta diduduki, Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk “Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, diperintahkan agar jika usaha Sjafruddin membentuk pemerintahan darurat tidak berhasil; ketiganya diberi kuasa untuk membentuk “Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengasingan.”     
Presiden Darurat
Mendengar ibukota Yogya diduduki, Sjafruddin yang sedang berada di Bukittinggi, segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan pada hari itu juga memproklamirkan berdirinya Pemerintah Darurrat Republik Indonesia (PDRI). “Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi, pada tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 sore, telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia,” ujar Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera, M. Teuku Mohammad Hasan.
Pada 22 Desember 1948. Di Halaban, Payakumbuh, Sjafruddin mengumumkan susunan kabinet PDRI yang terdiri dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua), Mr. T.M. Hasan (Wakil Ketua), Mr. Sutan Moh. Rasjid (Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda), Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan/Kehakiman), Ir. M. Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan), Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran), dan R.M. Danusubroto sebagai Sekretaris.  
Di Pulau Jawa dibentuk Komisaris PDRI di bawah pimpinan dr. Soekiman Wirjosandjojo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, I.J. Kasimo, K.H. Masjkur, Supeno, dan Pandji Suroso.
PDRI juga menata ulang kepemimpinan militer. Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Kolonel A.H. Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara Teritorium Jawa. Kolonel M. Hidajat ditetapkan menjadi Panglima Tentara Teritorium Sumatera. Kolonel (Laut) M. Nazir diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kolonel (Udara) M. Sudjono diangkat menjadi Panglima Angkatan Udara.
Sjafruddin sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Dia menggunakan sebutan Ketua Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.”
Dalam memoar/otobiografi yang terbit pertama kali di akhir 1970-an dan diterbitkan kembali pada 2010, Proklamator Kemerdekaan, Mohammad Hatta, menyebut Sjafruddin Prawiranegara sebagai “Presiden Darurat”.
Setelah berpuluh tahun eksistensi PDRI bagai hilang dari catatan sejarah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal pembentukan PDRI, 19 Desember, sebagai Hari Bela Negara. Sayang, baru Bung Hatta yang secara terbuka  mengakui eksistensi Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Republik Indonesia, walaupun diberi tambahan “Darurat”..
Pernyataan Roem-van Roijen
Dalam perjuangan melawan Belanda, PDRI antara lain menggunakan siaran radio. Pesan-pesan radio PDRI ternyata dapat diterima dengan baik di New Delhi, dan mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Konferensi Inter-Asia mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983). Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Pernyataan itu telah menempatkan Roem --tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah--  dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti       
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh Belanda. PDRI merasa ditinggalkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sungguh sangat penting. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Sesudah usaha Hatta mencari Sjafruddin di Kutaraja, Aceh, gagal; Presiden Sukarno mengutus delegasi terdiri dari Mohammad Natsir, dr. J. Leimena, dr. Abdul Halim, dan Agus Yaman untuk membujuk PDRI dan Sjafruddin agar mengakui Roem-van Roijen dan kembali ke Yogya.
Dalam pertemuan di Padang Jopang, Lima Puluh Kota, sikap PDRI keras: “Mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan dengan Belanda, padahal yang berkuasa sesungguhnya PDRI.” Leimeina dan Halim, mulai kehilangan kesabaran. Mereka berkata: “Dulu, sewaktu Sukarno dan Hatta ditawan, kami tidak tahu bagaimana nasib Republik apabila tidak ada PDRI. Sekarangpun kami tidak tahu bagaimana nasib Republik kalau Bung Sjafruddin tidak bersedia kembali ke Yogya.”
Di tengah pembicaraan yang emosional itu, menjelang subuh, tiba-tiba Natsir membacakan sebuah syair berbahasa Arab: “Tidaklah keinginan semua manusia akan tercapai, karena angin berhembus di lautpun tidak selamanya mengikuti keinginan perahu yang sedang berlayar.”
Entah terpengaruh oleh syair klasik itu, Sjafruddin menyahut: “Dalam perjuangan, kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan, karena kita berundingpun duduk di atas lantai. Yang penting adalah kejujuran. Siapa yang jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat.” Sjafruddin memutuskan kembali ke Yogya untuk mengembalikan mandat --yang tidak pernah dia terima—kepada Presiden Sukarno. Di lapangan terbang Yogya, Presiden Darurat itu dijemput oleh Mohammad Hatta.   
Sesudah mendengar Sjafruddin kembali ke Yogya, Soedirman bersedia turun gunung, kembali ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Mengutip pakar sejarah, Prof. Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Peran Signifikan Politisi Muslim
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan yang dramatis, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat signifikan.         
Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa sesungguhnya sejak dulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat sembari dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka, mereka yang tiba-tiba amat bersemangat bicara soal NKRI, dan kebhinekaan seraya memperhadapkannya dengan Islam; bacalah sejarah dengan jujur dan benar.[]
Tulisan ini dimuat koran Republika, Rabu, 17 Desember 2016.
Lukman Hakiem, pemerhati sejarah. Menulis dan menyunting beberapa buku. Pernah menjadi anggota DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-20014).
















09 Desember 2016

KH Sholeh Iskandar


Tapak-tapak Perjalanan Ulama-Patriot
K.H. Sholeh Iskandar
Oleh: Lukman Hakiem

MENULIS tentang K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992) adalah menulis tentang seorang ulama-patriot yang komitmen asasinya terhadap keislaman dan keindonesiaan sungguh-sungguh utuh, dan tanpa pamrih. Masih di zaman penjajahan Belanda, lelaki kelahiran Kampung Gunung Handeuleum, Desa Situ Udik, Kecamatan Cemplang, Kabupaten Bogor itu sudah tampil sekaligus memimpin Barisan Islam Indonesia (BII), dan Pemuda Gerakan Indonesia (Gerindo).
BII adalah organisasi kepanduan yang berada di bawah naungan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (Persatuan Ummat Islam) yang pembentukannya diprakarsai oleh murid-murid K.H. Ahmad Sanusi (1306/1888-1369/1950) dalam sebuah pertemuan di Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi, pimpinan K.H. Muhammad Hasan Basri pada bulan November 1931.
Pemuda Gerindo adalah organisasi kepemudaan yang berafiliasi kepada partai nasionalis kiri, Gerindo, yang dibentuk pada 24 Mei 1937  untuk menggantikan Partai Indonesia (Partindo) yang Sukarnois dan menjadi lawan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang konservatif. Para pemimpin Gerindo antara lain A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Yamin.  Aktivitas partai ini sangat dibatasi sejak Mei 1940, untuk akhirnya hilang dari peredaran.
Membantah Pendapat Sayidiman
Dengan latar belakang pergerakan seperti itu, tidak mengherankan jika Sholeh Iskandar menjadi tokoh yang memiliki jaringan luas –modal yang sangat penting di dalam menggerakkan perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dengan modal itu, sebagai Komandan Laskar Hizbullah/Sabilillah di daerah Bogor Barat, saat laskar-laskar perjuangan dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), Sholeh Iskandar yang saat itu menjadi Komandan Batalyon 0/Hizbullah dipercaya menjadi Komandan Sektor IV Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi dengan pangkat Mayor.
Eksistensi Mayor Sholeh Iskandar dan pasukannya di masa perang kemerdekaan dicatat oleh Jenderal Dr. A.H. Nasution. “Kami berkunjung pula ke Resimen Jayarukmantara di Rangkasbitung, kemudian ke front Bogor Barat, di mana Mayor H. Dasuki dari Resimen 2 bertanggungjawab. Daerah ini diperkuat oleh pasukan-pasukan asal Hizbullah, dipimpin oleh Mayor Soleh Iskandar.”
Dalam konteks ini mudah dipahami kekecewaan Sholeh Iskandar terhadap pendapat Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo yang tidak saja menganggap kecil  eksistensi Laskar Hizbullah, bahkan menganggap Laskar Hizbullah hanya menjadi beban dan mengganggu Republik Indonesia.   “Gerakan hijrah itu amat menguntungkan Belanda, baik dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun masih ada pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun kekuatan mereka terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang berarti. Malahan nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan Republik ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang Kemerdekaan II. Sebagai pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak menyerang TNI daripada Belanda,” kata Sayidiman pada makalah yang disampaikan dalam suatu Seminar Sejarah Militer yang diselenggarakan oleh Yayasan Historia Vitae Magistre.
Menurut Sholeh Iskandar, pendapat Sayidiman itu berbeda atau bertentangan dengan pendapat bekas Panglima Siliwangi, E. Kawilarang, yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah di Jawa Barat.
“Dalam pada itu,” kata Sholeh Iskandar, “perlu diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi, dan seorang hamba Allah yang lain, sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam waktu perang dan damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi TNI-AD sebagai Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.”
Menurut Sholeh Iskandar, formasi Batalyon Hizbullah itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan Selamat. “Lebih jauh kiranya Al-Mukarram Jenderal Sayidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi militer Belanda, Resiment Jaggers Batalyon 3, mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan,” ujar Sholeh Iskandar.
Peran Ulama dan Sikap terhadap Darul Islam
Sholeh Iskandar menyodorkan fakta ketika daerah lain dikuasai Belanda/Sekutu, keresidenan Banten secara de facto tetap bersama-sama Republik Indonesia. Mereka bahkan membuat mata uang sendiri. Di keresidenan Banten itu, para ulama menempati posisi penting dalam pucuk pimpinan, baik dalam administrasi pemerintahan sipil maupun militer. Sebagai contoh, Bupati Serang adalah K.H. Sjam’un, Bupati Lebak ialah K.H. Harun, dan lain-lain. Di daerah Bekasi, Karawang, dan sekitarnya, Komandan Hizbullah dan Sabilillah ialah K.H. Noer Ali.
            Ketika pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta, maka praktis Hizbullah dan Sabilillah yang menjaga dan mempertahankan kantong-kantong perlawanan rakyat di seluruh Jawa Barat.
Dalam hubungan dengan Darul Islam (DI) seperti dalam pendapat Sayidiman, menurut Sholeh Iskandar perlu dicatat berlangsungnya pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan di Peuteuy, Nanggung, Bogor, membahas sikap terhadap gerakan DI. Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan dengan penuh tanggung jawab, diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi DI, dan melanjutkan perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Namun Sholeh Iskandar mencatat, buku-buku sejarah yang ada, tidak menceritakan perjuangan umat Islam di seluruh Nusantara secara objektif Kalaupun ada, hanya ditatap sepintas dan sambil lalu, sehingga menimbulkan kesan ada usaha-usaha dari golongan tertentu untuk mengaburkan dan menghilangkan peranan umat Islam –dengan para ulamanya—dari pentas sejarah. Menurut Sholeh Iskandar, ini dapat dikategorikan sebagai manipulasi atau penggelapan sejarah.
Hubungan Agama dengan Negara
Statement Sholeh Iskandar mengenai DI, membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana ulama-patriot ini memandang hubungan antara agama Islam dengan negara Republik Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, baiklah kita ikuti sikap Sholeh Iskandar menghadapi pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama yang diajukan oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 1989.
Dengan lugas, Sholeh Iskandar menyatakan keheranannya atas pendapat yang menyebut RUU-PA bertentangan dengan Pancasila. Sholeh Iskandar juga tidak memahami pendapat yang menganggap aneh jika syariat Islam masuk ke dalam hukum nasional RI.
Menurut Sholeh Iskandar, untuk mendudukkan hubungan antara agama dengan negara, cukuplah dengan memahami dan menghayati Undang-Undang Dasar 1945, sejak Pembukaan, Batang Tubuh, sampai Penjelasannya.  Semuanya, kata Sholeh Iskandar, serba membuka diri terhadap realitas yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik realitas yuridis, maupun realitas sosiologisnya.
Pasal 29 ayat (1) dan (2) mengandung keharusan tiap warganegara untuk beragama, walaupun keharusan ini tidak disertai sanksi. Akan tetapi, itu tidak mengurangi sifat keharusan sebagai suatu norma hukum yang harus ditaati.
Menurut Sholeh Iskandar, Indonesia negara hukum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka seharusnya dan logis jika setiap aturan hukum bersumber dari norma agama, dan sangat logis juga jika hukum agama ditransformasikan ke dalam hukum nasional sesuai dengan keinsafan dan kebutuhan hukumnya. Tanpa agama, Pancasila akan kehilangan makna dan nilainya.
Tapak-tapak Perjalanan
Mayor di masa itu, pangkat yang cukup tinggi, karena sampai akhir 1950-an Panglima Teritorium (sekarang Panglima Daerah Militer), bahkan Kepala Staf Angkatan Darat, paling tinggi berpangkat Kolonel. Jika Sholeh Iskandar melanjutkan karir militernya, bukan mustahil dia bisa meraih pangkat Jenderal dengan tugas kekaryaan yang menjanjikan. Perwira penghubung yang menjadi staf Mayor Sholeh Iskandar di masa perang kemerdekaan, Letnan Hasan Selamat, pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal dan sempat menjadi gubernur Maluku.
Akan tetapi, ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui pada penghujung tahun 1949, Sholeh Iskandar justru merasa tugasnya sebagai tentara telah selesai. Sholeh Iskandar tidak tergoda kepada kemewahan dunia, yang sangat mungkin dia peroleh jika melanjutkan karir militernya. Dia kembali ke dunia sipil dan melanjutkan pengabdiannya di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, dia tetap menaruh kepedulian tinggi terhadap nasib dan kesejahteraan bekas anak buahnya, sesama pejuang kemerdekaan.
Antara 1950-1960, Sholeh Iskandar mendirikan Persatuan Bekas Anggota Tentara (Perbata) dengan tujuan menghimpun tenaga bekas tentara dan laskar perjuangan ke arah tujuan pembangunan dan pembinaan negara; terpilih  menjadi Wakil Ketua Gabungan Organisasi-organisasi Perjuangan; terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Pejuang Islam Bekas Bersenjata Seluruh Indonesia; turut mendirikan dan terpilih menjadi Ketua II Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia; dan turut mendirikan Yayasan Carya Dharma yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota LVRI.
Lepas dari dunia militer, Sholeh Iskandar menjadi aktivis Partai Masyumi. Melihat prestasi dan ketokohannya, pimpinan Masyumi Jawa Barat meminta Sholeh Iskandar untuk menjadi anggota DPRD Sementara Provinsi Jawa Barat. Tawaran itu ditolak oleh Sholeh Iskandar.   Mengapa menolak? “Adapun alasannya,” tulis Sholeh Iskandar dalam suratnya kepada Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Barat, “sudah barang tentu mudah dicari, akan tetapi yang terpenting saya berpendapat dalam keadaan, waktu dan situasi seperti sekarang ini saya mungkin tidak dapat mempergunakan fungsi itu untuk kepentingan perjuangan kita selanjutnya.”
Tidak hanya sekali itu saja Sholeh Iskandar menolak jabatan. Menurut beberapa sumber, Presiden Sukarno pernah memintanya menjadi menteri. Lagi-lagi tawaran itu ditolak oleh Sholeh Iskandar.
Menolak jabatan formal, tidak berarti Sholeh Iskandar hanya duduk termangu sembari berpangku tangan. Tanpa jabatan formal, tapak-tapak perjalanan Sholeh Iskandar justru terlihat jelas. Di bidang pendidikan, Sholeh Iskandar mewariskan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor; Universitas Ibn Khaldun Bogor (UIKA); dan Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Bogor. Di bidang kesehatan, Sholeh Iskandar mewariskan Rumah Sakit Islam Bogor. Di bidang ekonomi syariah, Sholeh Iskandar meninggalkan jejak Bank Pembiayaan Syariah Amanah Ummah. Tentu tidak boleh dilupakan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang didirikannya antara lain bersama K.H. Noer Ali, K.H. Abdullah Syafi’ie, K.H. Chaer Affandi, dan Majelis Ulama Jawa Barat; yang ditekuni hingga akhir hayatnya. BKSPP meninggalkan sejumlah fatwa dan sikap politik sebagai panduan bagi kaum Muslimin.
Bintang Jasa Nararya
Pemerintah tidak menutup mata atas jasa Sholeh Iskandar kepada bangsa dan negara. Untuk menghargai jasa-jasanya yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia, dan agar menjadi teladan bagi seluruh warga negara, dengan Surat Keputusan Nomor 074/TK/1995, tertanggal 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Jasa Nararya kepada Sholeh Iskandar. Bintang yang sama, dianugerahkan juga kepada Ketua Umum BKSPP Jawa Barat, K.H. Noer Ali.
Sementara Walikota Bogor R. Iswara Natanegara, dengan Surat Keputusan Nomor 620.45-166 Tahun 2001 tertanggal 23 Juli 2001, mengabadikan nama K.H. Sholeh Iskandar pada Jalan Raya Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara dan Jalan Raya Semplak, Kecamatan Bogor Barat.
Sekarang, jika melintas di Jl. K.H. Sholeh Iskandar, kenanglah jasa ulama-patriot yang layak menjadi Pahlawan Nasional itu.[]
Lukman Hakiem adalah anggota DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-2004). Menulis dan menyunting beberapa buku.  


05 Desember 2016

Jejak Politisi Muslim dalam Proses Pembentukan NKRI

Jejak Politisi Muslim dalam Proses Pembentukan NKRI[1]
Oleh: Lukman Hakiem

Babak Baru Kehidupan Umat Islam
            Setelah lama berada dalam cengkeraman penjajah Barat, di penghujung abad XIX dan awal abad XX muncul kesadaran emansipatoris di kalangan bangsa terjajah ini. Kesadaran secara  tersendiri atau bersama-sama yang ditandai oleh: pertama, cita-cita suatu pengelompokan orang-orang tertentu menuju penjabaran diri dan perkembangan batin; kedua, berusaha agar diakui sebagai bagian masyarakat sepenuhnya dan dengan demikian memiliki peluang dan hak yang sama seperti golongan istimewa dalam masyarakat; dan ketiga mengusahakan pemutusan hubungan dengan golongan yang berkuasa. Nasionalisme biasanya merujuk kepada pertanda ketiga.[2]
            Bersamaan dengan munculnya kesadaran emansipatoris itu, masuk dan berkembang pula gagasan pembaruan Islam di Indonesia. Menurut Korver[3] gagasan pembaruan Islam masuk melalui tiga cara. Pertama, melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia.
Sekitar tahun 1900, jumlah masyarakat Arab di Indonesia kurang lebih delapan belas ribu orang. Melalui perkawinannya dengan wanita Indonesia, juga lantaran ikatan keagamaan, hubungan orang Arab dengan kaum pribumi Indonesia terjalin sangat baik. Bahkan nyaris tanpa sekat. Meskipun demikian, orang-orang Arab pada awal abad XX itu tetap tidak dapat melepaskan ikatan batin mereka dengan tanah leluhur di Timur Tengah. Melalui ikatan batin yang sangat manusiawi itulah pelbagai suratkabar dan majalah dari Timur Tengah masuk ke Indonesia. Masyarakat Arab di Indonesia juga mendirikan lembaga pendidikan Jamiat Khair di Jakarta pada 1905 yang pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan sistematis. Jamiat Khair terbuka untuk seluruh kaum Muslim, termasuk Muslim pribumi.    
Di kalangan pribumi, reformisme Islam pertama-tama mendapat pengikutnya di Minangkabau, Sumatera Barat. Inilah cara kedua reformisme  Islam masuk ke Indonesia. Salah seorang tokoh reformisme Islam di Minangkabau ialah Syaikh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari yang menghabiskan sebagian besar usianya di Singapura dan Timur Tengah. Melalui persahabatannya dengan hartawan berkebangsaan Arab, Taher menerbitkan majalah Al-Imam. Majalah yang terbit pada 1905-1910 ini mendesak umat Islam agar tidak kalah dalam bersaing dengan orang-orang Barat.[4]
Ketiga, cita-cita reformasi Islam masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh Sarekat Islam (SI)[5] dan Persyarikatan Muhammadiyah.[6] Jika SI memilih perjuangan di jalan politik, maka Muhammadiyah membatasi lapangan  perkhidmatannya di bidang-bidang dakwah, sosial, dan pendidikan.
Aktivitas kedua organisasi itu ternyata saling melengkapi satu sama lain. Ketika Muhammadiyah dengan kiprahnya di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan telah berhasil menumbuhkan kesadaran intelektual di kalangan kaum Muslim; maka SI yang berkiprah di bidang politik, mengembangkan dan menyalurkan kesadaran yang telah ditumbuhkan oleh Muhammadiyah itu. Berkat pembinaan “Dwitunggal SI-Muhammadiyah”[7], tumbuhlah rasa persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan Budi Utomo yang cakupan geraknya terbatas hanya di Jawa dan Madura dan programnya pun terbatas untuk kepentingan penduduk Jawa dan Madura,[8] SI justru mengikat dan mempersatukan penduduk dari kepulauan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Seorang H. Agus Salim (1884-1954) yang berasal dari Minangkabau, tidak pernah melihat dan memperlakukan H.Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) yang orang Jawa, sebagai orang Jawa. Begitu pun sebaliknya. Asal-usul keturunan, tanah kelahiran, dan bahasa mereka memang berbeda; akan tetapi rasa persatuan dan persaudaraan mereka, satu. Mereka sama-sama merasa terikat oleh aqidah yang sama, yakni aqidah Islam.
Bila dibandingkan dengan keanggotaan Budi Utomo yang membatasi pada golongan priyayi, sejarawan Bonnie Triyana mencatat, SI jauh lebih menimbulkan minat rakyat untuk bergabung. Di bawah kendali Tjokroaminoto, mulai tahun 1916 kongres-kongres SI disebut “kongres nasional”. Penamaan itu bukan hanya menunjukkan semakin banyaknya cabang SI di berbagai daerah di Hindia Belanda, tapi juga pertanda menguatnya kesadaran nasional di kalangan pemimpin SI dengan keanggotaan SI dipersatukan oleh Islam, tiada peduli status, pangkat, dan usia.[9] 
Demikianlah sumbangan besar yang diberikan oleh Dwitunggal SI-Muhammadiyah dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia, jauh sebelum lahir partai-partai seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dapat dikatakan, inilah babak baru dalam kehidupan umat Islam, sekaligus dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Kuntowidjojo (1943-2005) menyebut hal ini sebagai gejala baru mulai berhasilnya anak-anak kaum ulama memasuki sekolah-sekolah Belanda yang dibuka sebagai pelaksanaan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad XX. Dari sinilah selanjutnya lahir kelompok baru di kalangan kaum Muslim, yaitu kelompok intelektual Muslim. Menurut pakar sejarah yang juga menulis karya sastra itu, kelahiran mereka memberi corak baru dalam gerakan melawan kolonial. Kaum ulama mulai menyadari pentingnya organisasi. Maka lahirlah pada periode ini Sarekat Dagang Islam (SDI) --yang kemudian menjadi SI-- yang tidak saja didukung oleh kelompok ulama tradisional, tetapi juga oleh para ambtenar Belanda, pedagang kecil dan menengah, kaum aristokrat, dan kaum buruh.[10]
Sesudah Sarekat Islam dan Muhammadiyah, berturut-turut berdiri Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914) di Jakarta, Perikatan Umat Islam (1917) di Majalengka, Persatuan Islam (1923) di Bandung, Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya, Al Ittihadiyatul Islamiyah (1931) di Sukabumi[11], dan lain-lain. 
Reformasi Pendidikan
Semua organisasi Islam itu sama bercita-cita meningkatkan kualitas kaum Muslim di Tanah Air. Dalam muktamar organisasi-organisasi itu berkumandang perlunya umat Islam di Indonesia memperbaiki kualitas lembaga pendidikannya, juga perlunya kaum Muslim memiliki lembaga pendidikan yang memberikan secara seimbang ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan, dan keterampilan.
Pada 1917, pendiri Perikatan Umat Islam, K.H, Abdul Halim (1887-1962) mendirikan lembaga pendidikan yang berlokasi di atas gunung dan di tengah hutan belantara. Lembaga pendidikan itu diberi nama Santi Ashrama. Mengapa di tempat sunyi? Menurut Kiai Halim, tempat yang tenang di luar kota merupakan tempat yang ideal. Kota, katanya, telah diracuni atau sering diracuni dengan kebiasaan-kebiasaan yang immoral ataupun amoral. Sedangkan tempat-tempat di luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.[12]
Kiai Halim melengkapi para peserta didiknya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing. Kiai Halim sampai pada langkah itu setelah melihat, lulusan sekolah pemerintah menggantungkan diri pada lapangan pekerjaan yang disediakan di lingkungan pemerintah, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan lulusan madrasah atau pesantren biasanya menjadi guru agama atau kembali ke lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu Kiai Halim berpendapat, seorang lulusan yang baik adalah seorang yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan.[13]
Dalam muktamar seperempat abad Muhammadiyah di Jakarta pada 1936, organisasi ini memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah memiliki 31 perpustakaan umum, dan 1.774 sekolah.[14]
Gagasan meningkatkan kualitas umat Islam melalui reformasi pendidikan, juga masuk ke pondok pesantren. Dalam kaitan ini penting untuk dicatat keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak di desa Cukir, kurang lebih 8 kilometer sebelah tenggara kota Jombang, Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh Hadratus Syaikh K.H. Muhammad Hasjim Asj’ari (1871-1947) pada tahun 1899 dan diakui resmi oleh pemerintah Belanda pada 6 Februari 1906.[15]    
Salah seorang putra Hadratus Syaikh yakni K.H.A. Wahid Hasjim (1914-1953), meskipun sejak dini telah digembleng oleh ayahandanya dengan pendidikan Islam, tetapi sang putra pun diperbolehkan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam usia belia, Wahid Hasjim telah berlangganan Penjebar Semangat, Daulat Ra’jat, Pandji Poestaka, Ummul Quro, Shautul Hijaz al Lata’if al Musyawarah, Kullu Syain wal Dun-ya, dan Al Itsnain. Majalah-majalah berbahasa Indonesia yang dilanggananinya diterbitkan oleh kelompok nasionalis; sedangkan majalah-majalah berbahasa Arab semuanya berasal dari Timur Tengah. Dari contoh bacaan di atas terlihat betapa sejak masa mudanya, Wahid Hasjim sudah membuka cakrawala pandangnya sedemikian luas.[16]
Pada 1934, Wahid Hasjim melaksanakan gagasan pembaruannya dengan membuka Madrasah Nidhomiyah di Pondok Pesantren Tebuireng. 70% dari keseluruhan mata pelajaran di Madrasah Nidhomiyah merupakan pengetahuan umum. Di Tebuireng itu pula Wahid Hasjim membuka perpustakaan yang selain berisi 1000 judul buku (kebanyakan buku-buku tentang agama Islam), juga berisi majalah dan suratkabar Pandji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatoel Oelama, Adil, Noeroel Islam, Al-Munawarah, Pandji Poestaka, Poestaka Timoer, Poedjangga Baroe, dan Penjebar Semangat.[17]
Perhimpoenan Indonesia
Ketika kesadaran politik umat sudah makin meluas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa, pada 1925 para mahasiswa kita di Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia). Peristiwa ini jelas bukan sekadar pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih tegas dari perjuangan organisasi itu, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah, inilah untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi dilekatkan pada nama suatu organisasi.
Selain mengubah nama organisasi, para mahasiswa itu mengeluarkan Manifesto Politik yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Nama majalah organisasi pun diganti dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka dan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!” diperkenalkan, meskipun masih dalam bahasa Belanda.
Dalam catatan pakar sejarah, Taufik Abdullah, peristiwa sederhana ini sekaligus mengatakan tiga hal yang fundamental: pertama, adanya sebuah bangsa bernama Indonesia, kedua, adanya sebuah negeri bernama Indonesia, dan ketiga, bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya. Begitulah kalau sejarah pergerakan kebangsaan dikaji lebih teliti, maka kelihatanlah bahwa mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.[18]
Kebetulan atau tidak, ketika Indische Vereeniging berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, ketua organisasi tersebut adalah Soekiman Wirjosandjojo yang sekembalinya di tanah air dikenal sebagai salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ketua Partai Islam Indonesia (PII), anggota Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai), Ketua Umum pertama partai politik Islam legendaris, Masjumi, dan Perdana Menteri Republik Indonesia (1951-1952). Sampai Masjumi membubarkan diri pada 1960, Soekiman adalahWakil Ketua Umum Masjumi.
Sesudah peristiwa heroik pada 1925 itu, pada 1926 dalam kongresnya yang pertama nama Indonesia dilekatkan pada nama organisasi Indonesia Moeda. Nama Indonesia dikuatkan lagi dua tahun kemudian pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan yang dengan tegas diberi nama Nationale Indonesische Padvindery (Natipy). Bukan Nationale Islamitische Padvindery seperti ditulis di beberapa buku sejarah.
Menjadi Indonesia
Dalam kaitan ini, ada peristiwa yang cenderung dilupakan, yakni Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di Semarang, 4 Oktober 1934, berbunyi sebagai berikut:
1.    Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana);
2.    Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi);
3.    Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Dari prespektif hari ini, barangkali terasa aneh ada sumpah pemuda tetapi memakai embel-embel keturunan Arab. Akan tetapi, dari prespektif dekade-dekade awal abad XX, ketika di antara orang-orang Arab yang lahir di Hadramaut (wullaiti) dan orang-orang Arab keturunan Hadramaut yang lahir dan beribu Indonesia (muwallad), atau antara kaum sayyid dan bukan sayyid, antara kelompok al-Rabithah dan al-Irsyad, tidak pernah bisa bertemu, hidup ekslusif, dan tidak merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lahirnya SPIKA bukan saja terasa relevan, tetapi bahkan merupakan keniscayaan dalam proses pergerakan kebangsaan. Berdasarkan SPIKA itulah didirikan Partai Arab Indonesia (PAI).
Sumpah pemuda Indonesia keturunan Arab dan lahirnya PAI segera menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap waspada. Bagaimanapun, menurut strata hukum yang berlaku pada masa itu, orang Arab dikategorikan sebagai orang Timur Asing, dan karena itu derajatnya setingkat di bawah orang Belanda dan Eropa serta setingkat di atas orang pribumi yang secara merendahkan, oleh Belanda disebut inlander. Dengan SPIKA dan PAI,warga keturunan Arab telah memilih tempatnya di antara rakyat Indonesia asli.
Pilihan untuk menjadi Indonesia menunjukkan aktivis SPIKA dan PAI adalah kelompok radikal, progresif-revolusioner, dan siap menghadapi segala resiko. Jika sikap itu menular kepada yang lain, bisa diduga apa yang akan terjadi di ranah pergerakan kebangsaan. Inilahn yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mewaspadai SPIKA dan PAI.
Kaum pergerakan nasional yang merasa mendapat kawan, bersukacita dengan dicetuskannya SPIKA dan lahirnya PAI. Di tengah sikap keras pemerintah kolonial Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan para aktivis politik serta membubarkan partai politik berhaluan radikal, SPIKA dan PAI merupakan darah segar bagi pergerakan nasional.
Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan nasional di seluruh Tanah Air, memberitakan dan mempropagandakan kelahiran SPIKA dan PAI sebagai gerakan yang sangat progresif. Tidak heran jika para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI, sehingga dalam waktu singkat PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) karena PAI yang berasas Islam pada Pasal II Anggaran Dasarnya, merumuskan:
a.    bahwa Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah Tanah Airnya, yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban;
b.    bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya wajib diutamakan.
Pada Pasal III, PAI merumuskan tujuan dan usahanya sebagai berikut:
1.    Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada Tanah Air dan masyarakatnya.
2.    Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial, yang menuju keselamatan rakyat dan Tanah Air Indonesia.
PAI juga diterima menjadi anggota Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI yang nasionalistis itu berasaskan Islam. Tidak banyak partai yang diterima sekaligus sebagai anggota GAPPI dan MIAI. Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Inilah pengakuan bahwa warga keturunan Arab di Indonesia diterima dan diakui secara utuh sebagai putera Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, seluruh partai politik, termasuk PAI dibubarkan. Dan ketika Indonesia merdeka, PAI tidak didirikan lagi. Jika di masa penjajahan, warga keturunan Arab merasa perlu menegaskan jati diri keindonesiaannya, di alam kemerdekaan pimpinan dan para anggota PAI menolak politik “kegolongan yang berdasarkan minoritas.” Oleh sikap demikiran inilah, PAI tidak dihidupkan lagi.
Konsisten pada sikap tersebut, sejak awal kemerdekaan bekas pimpinan dan anggota PAI masuk ke dalam berbagai badan perjuangan dan partai politik menurut alirannya masing-masing. Bekas aktikvis PAI Mr. Hamid Algadri menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), kelak berkiprah di Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan bekas Ketua PAI, AR. Baswedan, menjadi Menteri Muda Penerangan yang kelak menjadi anggota Delegasi Diplomatik Republik Indonesia ke Timur Tengah untuk mencari dukungan internasional bagi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Baswedan berkiprah di Partai Masyumi.
Wajib Hukumnya Melawan Belanda
Di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, persatuan umat Islam sebagai penduduk mayoritas kembali ditunjukkan. Tanpa keraguan sedikitpun, para ulama mengeluarkan fatwa bahwa berjuang melawan Belanda, wajib hukumnya. Gugur dalam perjuangan membela agama dan negara, difatwakan sebagai mati syahid. Tidak kurang dari lima fatwa tentang hukum wajib melawan Belanda dikeluarkan oleh para ulama dan pemimpin Islam. Hal itu menunjukkan, para pemimpin Islam satu kata dalam sikap menghadapi Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. 
1.      Pada Konferensi Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura di Surabaya (21-22 Oktober 1945), K.H.M. Hasjim Asj’ari memfatwakan wajib hukumnya melawan Belanda.
2.      Pada 29 Oktober 1945, Pimpinan Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa bahwa mati dalam memperjuangkan agama dan negara adalah mati syahid.
3.      Bulan November 1945, tiga puluh ulama di daerah Yogyakarta mengeluarkan fatwa bahwa adalah merupakan fardhu ‘ain (kewajiban perseorangan) untuk memerangi orang-orang kafir yang menghambat usaha kemerdekaan.
4.      Pada 5-9 Desember 1945, Kongres Ummat Islam se-Sumatera di Bukittinggi mengeluarkan fatwa wajib hukumnya melawan Belanda.
5.      Pada Kongres Masyumi di Kediri, 10 Februari 1946, K.H. A. Wahab Chasbullah menyampaikan fatwa Ketua Majelis Syuro Masyumi, K.H.M. Hasjim Asj’ari bahwa melawan Belanda hukumnya wajib.[19]
Dalam pada itu, Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta selain bersepakat membentuk Partai Politik Islam Masyumi, mengukuhkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam lapangan politik; Hizbullah sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam lapangan militer; juga sepakat membentuk badan perjuangan dengan nama Sabilillah yang dikukuhkan sebagai satu-satunya lapangan gerakan umat Islam dalam militer dan perlawanan. Anggota Sabilillah adalah para ulama yang berusia 35 tahun ke atas.
Untuk memperkuat barisan perjuangan umat Islam, pada 26 Oktober 1946, dalam sebuah Maklumat Bersama yang ditandangani oleh K.H. Masjkur (Panglima Markas Tertinggi Sabilillah), Zainul Arifin (Panglima Markas Tertinggi Hizbullah), dan R.H. Benjamin (Ketua Umum Pucuk Pimpinan GPII); dibentuklah Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia. Para penandatangan Maklumat Bersama menjadi Ketua Dewan Mobilisasi dibantu oleh Anwar Harjono sebagai Sekretaris Umum. Dewan Mobilisasi bermarkas di Malang, Jawa Timur.
Sukarno-Hatta-Kasman: Pemimpin di Masa Krisis
Perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita memang tidak pernah sepi dari peranan tokoh-tokoh pejuang Muslim. Mereka, dalam istilah Jenderal TNI (Purn) Dr. A.H. Nasution, adalah para pemimpin di masa-masa kritis. “Dapat saja kemudian posisi berubah, bahkan menurun, namun perlu kita sadari, bahwa untuk tampil jadi pemimpin pada saat-saat genting, pada saat berbahaya itu, pada saat masih banyak tokoh yang ragu-ragu dan yang masih banyak pula yang belum dapat atau belum mau menampilkan diri, pastilah diperlukan kepemimpinan yang bersifat pelopor,” kata Pak Nas, dalam tulisan menyambut 75 tahun Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982).
Menurut Pak Nas, ketampilan ikut memimpin negara atau tentara pada saat yang amat kritik itu, tidak akan datang dari “pemimpin-pemimpin rutin”. Tugas pemimpin di masa-masa kritik adalah pasti jauh lebih berbahaya dan adalah bersifat lebih menentukan bagi nasib bangsa, dibanding dengan seperti misalnya masa tahun-tahun Orde Baru, di mana negara dan tentara telah tegak terkonsolidasi. Dalam rangka ini Pak Nas mencatat, di masa sekitar Proklamasi Kemerdekaan, “lazim kami di kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, di mana Pak Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan ketika itu....”
Memang, peran Kasman di tahap-tahap awal konsolidasi militer kita, sangat besar, atau sekurang-kurangnya tidak layak dilupakan. Kasman berturut-turut pernah menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta. Dalam posisi inilah Kasman dicatat oleh Jenderal Nasution sebagai salah satu dari tokoh nasional yang amat berpengaruh. “Hanya dengan pimpinan Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo, rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja.”
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Kasman sempat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menjadi Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia, dan sesudah reorganisasi Tentara Republik Indonesia (TRI), Pak Kasman dilantik menjadi Kepala Kehakiman Militer.
Nama Kasman dicatat sejarah, karena pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 dialah yang berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) untuk menerima saran Mohammad Hatta (1902-1980) menghapus anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”, dan menukarnya dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sila pertama dari Pancasila, dasar negara kita.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Seorang sarjana Perancis, Remy Madinier, dalam studinya mengenai Partai Masyumi,[20] mencatat bahwa pada episode terakhir perjuangan kemerdekaan yang begitu dramatis, di tubuh Masyumi mencuat sosok kenegarawanan dari tiga tokoh pemimpinnya serta menempatkan mereka di jajaran terdepan sebagai calon-calon pemimpin pemerintahan. Ketiganya ialah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh Masyumi itu telah memainkan peranan yang sangat penting dan signifikan.  
Sejarah negara ini mungkin akan lain jalannya jika tidak muncul inisiatif Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera segera sesudah Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948.
Mendengar peristiwa Agresi Militer II Belanda itu, Sjafruddin yang sedang berada di Sumatera segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan memproklamirkan berdirinya PDRI, terhitung sejak 22 Desember 1948. Sjafruddin yang dipilih menjadi Ketua PDRI, sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati....”
Sejarah mencatat betapa efektifnya kekuasaan PDRI. Itu dapat dibuktikan oleh tiga hal. Pertama, dipatuhinya segala perintah PDRI oleh para pemimpin di Jawa –termasuk oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kedua, betapa keras usaha Belanda menghantam PDRI, sampai-sampai Belanda melansir ejekan bahwa PDRI tidak lain dari Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Ketiga, pesan-pesan yang  disampaikan oleh radio PDRI dapat diterima dengan baik di luar negeri, termasuk di New Delhi, dan mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Perjalanan bangsa Indonesia juga mungkin akan lain jadinya jika  Sjafruddin selaku Ketua PDRI tidak bersedia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Bung Karno dan Bung Hatta, sesudah Sukarno-Hatta “meninggalkan” PDRI dalam perundingan yang melahirkan Persetujuan Roem-van Roijen, 7 Mei 1949. Tentang hal ini, baik kita simak penilaian Sjafruddin terhadap Mr. Mohamad Roem sebagai berikut:
“Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Sukarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI pada waktu itu adalah satu-satunya pemerintah yang sah. Tetapi saya yakin, bahwa Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk kepentingan nusa dan bangsa, dan sedikit pun tidak ada niat padanya untuk meninggalkan PDRI. PDRI pada waktu itu memang sulit dihubungi, sebab masih ada di tempat persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau memang sungguh-sungguh diusahakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di Sumatera, dan Jawa, serta luar negeri. Tetapi karena saya yakin tentang integritas dari Roem dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem dengan van Roijen, kami tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan inilah yang akhirnya membawa kemenangan!”[21]
Pernyataan Roem-van Roijen
Konferensi Inter-Asia di India mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Belanda yang semakin terjepit posisinya, masih berusaha mengelak dari kewajiban memenuhi Resolusi DK-PBB. Wakil Tertinggi Ratu Belanda di Indonesia, Dr. Beel, mengusulkan agar para pemimpin RI yang sudah kumpul sebagai tawanan di Bangka terbang ke Den Haag guna menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB). Usul Beel itu ditolak. Para pemimpin RI menuntut supaya sebelum dilaksanakan KMB, kedudukan pemerintah RI lebih dulu dipulihkan. Sikap para pemimpin RI didukung oleh para pemimpin yang tidak ditawan oleh Belanda seperti Dr. Darmasetiawan, Dr. Halim, dan M. Natsir.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, akhirnya pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983).
Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta, dan itu berarti pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Bagi Roem, Pernyataan itu telah menempatkan tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, itu dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti       
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh Belanda. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, merasa ditinggalkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sangat krusial. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali”adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Akan tetapi, Sjafruddin dan Soedirman ternyata kembali juga ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Dengan sekali lagi mengutip Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”[22] Kalimat seperti itu, hanya mungkin diucapkan oleh seorang yang berjiwa negarawan.
Mosi Integral Natsir
Pada 29 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui (Belanda menggunakan istilah menyerahkan) kedaulatan RIS, kecuali Irian Barat. Dalam RIS tergabunglah 16 negara bagian, termasuk negara bagian Republik Indonesia di Yogyakarta. Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering, pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur mengeluarkan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung dengan Negara Bagian RI di Yogyakarta. Pada 30 Januari 1950, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan  mengeluarkan resolusi yang sama. Resolusi serupa juga datang dari DPRD Sulawesi Selatan, dan DPRD Jakarta. Selain di empat daerah tersebut, suara-suara yang menghendaki bergabung dengan RI, terdengar di banyak tempat. Di Negara Bagian Sumatera Timur malah terjadi demonstrasi besar yang menyebabkan polisi harus turun tangan.
Resolusi dan demonstrasi itu, biarpun baik niatnya, dalam pandangan Mohammad Natsir (1908-1993), dapat menyebabkan tergerogotinya eksistensi Indonesia. Natsir berpendapat, diperlukan suasana tenang dan penyelesaian menyeluruh (integral) untuk keluar dari kemelut yang dapat meledakkan sesuatu yang tidak terduga itu.
Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS, Natsir membicarakan masalah itu dengan ketua fraksi paling kiri, Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI); dan dengan ketua fraksi paling kanan, Sahetapy Engel dari Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO = Majelis Permusyawaratan Federal). 
Situasi waktu itu memang cukup panas. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta, dan menjadi kebanggaan 70 juta rakyatnya, sejak lahirnya RIS telah merosot derajatnya menjadi negara bagian dengan penduduk sekitar 3 juta di Yogyakarta, dan statusnya pun sama dengan negara-negara bagian lainnya.
 Setelah beberapa bulan berkeliling Indonesia untuk menemui tokoh-tokoh dan para pemimpin negara bagian, serta dari hasil diskusinya, termasuk dengan Sakirman dan Engel, Natsir menyimpulkan dua hal:
1.    Para kepala negara-negara bagian dan tokoh-tokohnya tidak dapat menerima pembubaran negaranya, untuk alasan apapun. Mereka berpendapat, mereka mempunyai status yang sama dengan RI di Yogya, sebagai negara bagian yang menurut Konstitusi RIS adalah negara federal, dan
2.    Perundingan tersulit terjadi di Yogyakarta. Di sana masih banyak yang berkeinginan kembali ke negara kesatuan sesuai dengan Proklamasi. Orang-orang RI di Yogya yang merasa sebagai perintis dan modal perjuangan, merasa heran jika mereka harus membubarkan diri bersama-sama dengan BFO ciptaan van Mook.
Kepada tokoh-tokoh RI di Yogyakarta, Natsir mengajukan dua pilihan: pertama, memerangi negara-negara bagian itu sampai mereka menyerah dan bersedia membentuk negara kesatuan; kedua, meminta negara-negara bagian itu untuk bersama kita sendiri membubarkan diri dan mendirikan kembali negara kesatuan.
Setelah berdiskusi dan menyerap aspirasi yang berkembang, Natsir mengajukan Mosi Integral, yang populer dengan nama Mosi Integral Natsir. Ketika berbicara di Parlemen RIS, 3 April 1950,  Natsir tidak merasa perlu bicara soal federalisme atau unitarisme. Bagi  Natsir, mereka yang menyokong Mosi Integral tidak perlu disebut unitaris. Dan mereka yang menolak Mosi Integral pun tidak perlu disebut federalis. Karena persoalan yang terletak di hadapan kita, kata Natsir, tidak ada hubungannya dengan bentuk struktur negara federalis atau unitaris, melainkan bagaimana kita menginventarisir hasil perjuangan bersama guna kepentingan bersama pula di masa depan.
Berkat kearifan Natsir di dalam menyusun  Mosi Integral, mosi itu diterima secara aklamasi oleh Parlemen RIS. Pemerintah juga menerima dengan baik Mosi Integral Natsir. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta menyatakan bahwa dia akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.  
Dengan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman, proses kembali ke NKRI berlangsung mulus dalam suasana damai. Tidak ada setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tidak ada seorang pun yang merasa dipermalukan.
Jejak Politisi Muslim
Pembentukan nasionalisme, proses menjadi Indonesia, perjuangan melanjutkan eksisitensi RI melalui PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat signifikan.         
Betapa tidak mudah menjadi Indonesia. Para pendahulu kita dengan caranya masing-masing telah meretas jalan ke arah pembentukan negara-bangsa Indonesia. Di antara yang telah memberi peran cukup signifikan ialah para pemimpin dan politisi Muslim. Oleh karena itu, umat Islam memiliki tanggung jawab sangat besar untuk melanjutkan peran sejarah para pendahulu kita: merawat NKRI ini sebaik-baiknya. Yang tidak kalah pentingnya, sesungguhnya sejak dahulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat yang dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka kepada mereka yang tiba-tiba sangat bersemangat berbicara mengenai NKRI sebagai harga mati, marilah kita baca sejarah dengan hati jernih, jujur, dan benar.
Wa Allahu ‘alam bi al shawab.[]
Sukabumi, 13 November 2016
13 Shafar 1438





[1] Disampaikan dalam Pelatihan Kepemimpinan Kreatif (Creative Leadership Training) Berbasis Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Tingkat Intermediate), Pusat Studi Pembangunan Hukjum Lokal, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 17 November 2016 di Gedung Pondok Pemuda Ambarbinangun, Bantul, Yogyakarta.
[2] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Jakarta, Grafiti Press, 1985, halaman 1.
[3] A.P.E. Korver, ibid, halaman 2-5.
[4] Tentang Al-Imam lebih lanjut, lihat antara lain Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, Umminda, 1982, halaman 96-98.
[5] Organisasi ini pada mulanya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan di Surakarta, Jawa Tengah, oleh H. Samanhudi dan kawan-kawan. Tentang hari lahirnya, terdapat setidaknya tiga versi: 16 Oktober 1905, 1911, dan 11 November 1912.
[6] Didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1303 bertepatan dengan 18 November 1912.
[7] Istilah “Dwitunggal SI-Muhammadiyah” ini diperkenalkan oleh Mohammad Natsir, mantan Ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi, inisiator Mosi Integral yang mengembalikan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Perdana Menteri (pertama) Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dalam kuliah subuh di Masjid Al-Munawwarah, Tanah Abang, Jakarta, pada 20 Agustus 1978.
[8] Tentang Budi Utomo ini, Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta, Komunitas Bambu, 2012, halaman 82-83 mencatat sebagai berikut: “Organisasi yang dibentuk pada 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo (1857-1917), Dr. Soetomo, dan Gunawan Mangunkusumo dan dianggap sebagai awal kebangkitan nasional Indonesia. Pada awalnya organisasi ini ingin memajukan kajian kebudayaan Jawa dan meningkatkan akses kepada pendidikan Barat, tetapi secara bertahap semakin bersifat politik. Contohnya adalah tuntutan Budi Utomo pada 1914 untuk membentuk milisi Hindia. Didominasi oleh priyayi rendahan dari pegawai kolonial, organisasi ini juga konservatif dan disetujui oleh pemerintah kolonial sebagai hasil Politik Etis. Sebagai hasilnya, organisasi ini tidak terlalu dipercaya oleh partai-partai politik nasionalis lainnya. Pada 1935, organisasi ini membubarkan diri dan bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra).”
[9] Bonnie Triyana, “Titian Bercabang Sang Herucokro” dalam Budi Setyarso Redaksi KPG (Tim Penyunting), Seri Buku TEMPO Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Cekatan Keempat, 2016, halaman 135-136.
[10] “Dari Diskusi Gemuis Yogyakarta: Perlu Interpretasi Rasional untuk Menjawab Tantangan”, Pelita, 31 Juli 1981.
[11] Drs. H. Munandi Shaleh, M.Si, K.H. Ahmad Sanusi Pemikiran dan Perjuangannya  dalam Pergolakan Nasional, Tangerang, Jelajah Nusa, 2014, halaman 11.
[12] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, Cetakan Keempat, 1988, halaman 83.
[13] Deliar Noer, ibid, halaman 82-83.
[14] Deliar Noer, ibid, halaman 95.
[15] Tentang sejarah Pondok Pesantren Tebuireng, lihatlah H. Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta, Panitya Buku Peringatan alm K.H.A. Wahid Hasjim, 1957, halaman 61 dan seterusnya. Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES, 1982, halaman 100. 
[16] Zamakhsyari Dhofier, ibid, halaman 104-105.
[17] Zamakhsyari Dhofier, ibid, halaman 106.
[18] Taufik Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005, halaman xii.
[19] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987, halaman 61-62.
[20] Remy Madinier, Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, Jakarta, Penerbit Mizan, 2013.
[21] Mr. Sjafruddin Prawiranegara, “Roem, Manusia dan Kawan Ideal” dalam Soemarso Soemarsono (Redaksi Pelaksana), Mohamad Roem Pejuang-Perunding, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1978, halaman 223.
[22] Taufik Abdullah, “Kisah PDRI Sebuah Refleksi Sejarah” dalam Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (Editor), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah, Jakarta, Harian Republika, 2011.